Oleh : Fabian Aditya Pratama )*
Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (Mahupiki) terus melaksanakan kegiatan sosialisasi mengenai KUHP Nasional dengan bertujuan untuk bisa terus meningkatkan adanya pemahaman dari masyarakat Tanah Air secara lebih menyeluruh. Hal tersebut dikarenakan dalam sistem hukum buatan anak bangsa itu telah banyak substansi yang sangat penting dan melatarbelakangi mengapa pemberlakuannya harus segera dipercepat dalam menggantikan KUHP lama buatan Belanda.
Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) dan Pemerintah RI telah secara resmi menyepakati bahwa Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) untuk disetujui dan disahkan menjadi UU di Indonesia. Pengesahan KUHP Nasional tersebut juga merupakan salah satu peristiwa bersejarah bagi bangsa dan negara Indonesia lantaran terdapat upaya pembaharuan hukum pidana nasional dan juga sebagai upaya untuk melepaskan diri dari sistem hukum peninggalan jalan kolonial secara sepenuhnya.
Terdapat beberapa urgensi yang menjadi latar belanag dan materi dalam penyelesaian KUHP Nasional tersebut, yakni karena memang sejauh ini pemerintah telah melalui berbagai kegiatan yang bersifat terbuka, terus menggali seluruh aspirasi masyarakat dengan diskusi yang terarah, termasuk juga melakukan sosialisasi dan juga pengayaan materi telah dilakukan.
Maka dari itu, tidak bisa dipungkiri bahwa pembahasan akan draft UU KUHP telah berlangsung dengan sangat komprehensif dan juga mendalam. Pada prinsipnya, KUHP Nasional sendiri merupakan sebuah upaya melakukan rekodifikasi terbuka terhadap banyak ketentuan pidana yang ada di masyarakat Tanah Air dan juga sekaligus mampu menjawab bagaimana seluruh dinamika perkembangan yang ada di masyarakat sampai saat ini.
Lantaran meski secara resmi memang sudah disahkan, namun KUHP Nasional sendiri masih memiliki waktu untuk masa transisinya sebelum secara resmi benar-benar akan berlaku seutuhnya menjadi sebuah sistem hukum di Tanah Air, yakni masa transisi tersebut selama 3 tahun setelah disahkannya pada akhir tahun 2022 lalu, jadi akan berlaku pada tahun 2025 mendatang. Maka sangat penting bagi masyarakat untuk bisa lebih memahami bagaimana substansi dan isi yang terkandung di dalam KUHP Nasional ini.
Maka dari itu, dalam rangka terus menciptakan peningkatan pemahaman yang terjadi di masyarakat terkait KUHP Nasional, Maysrakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (Mahupiki) terus menggelar berbagai macam gelaran sosialisasi hingga di berbagai daerah di Tanah Air dengan menggandeng sejumlah narasumber yang berkompeten, yakni para guru besar dan pakar hukum dari berbagai universitas di Indonesia.
Mengenai adanya KUHP Nasional, Guru Besar Fakultas Hukum (FH) Universitas Negeri Semarang (UNNES), Prof. Dr. R Benny Riyanto mengatakan bahwa pengesahan sistem hukum yang dibuat oleh anak bangsa tersebut memang telah mengikuti adanya pergeseran paradigma hukum pidana hingga menganut asas keadilan yang jauh lebih modern.
Bagaimana tidak, pasalnya jika dibandingkan dengan KUHP lama produk Belanda dulu, ternyata paradigma keadilannya masih bersifat retributif. Sehingga justru hal tersebut menurutnya memang menjadi urgensi dari bangsa Indonesia untuk segera bisa mengganti KUHP lama menjadi KUHP Nasional.
Paradigma keadilan jaman dulu adalah retributif yang terkesan terlalu berfokus hanya kepada pelaku tindak pidana dan berusaha untuk melakukan ajang balas dendam saja. Sedangkan dalam paradigma keadilan modern ini, pada KUHP Nasional sudah menganut adanya asas keadilan korektif bagi pelaku, kemudian asas restoratif untuk kebaikan korban hingga adanya asas rehabilitatif yang berguna bagi kebaikan keduanya, yakni antara pelaku dan korban.
Sementara itu, Ahli Hukum UI, Prof.Dr.Topo Santoso, S.H., M.H menjelaskan bahwa dalam KUHP Nasional juga telah mengatur adanya banyak upaya alternatif sanksi pidana, sehingga hukuman bagi adanya tindak pidana bukan hanya semata-mata langsung dipenjarakan begitu saja, melainkan ada beberapa alteratif pengganti lainnya seperti berlakunya denda, pengawasan hingga kerja sosial.
Di sisi lain, Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum (FH) Universitas Diponegoro (UNDIP), Prof. Dr. Pujiyono menerangkan bahwa terdapat 8 isu aktual UU KUHP, yakni Living Law, Aborsi, Kontrasepsi, Perzinaan, Kohabitasi, Perbuatan Cabul, Tindak Pidana terhadap Agama/Kepercayaan dan Tindak Pidana yang berkaitan dengan Kebebasan Berekspresi.
Sementar terkait living law, yaitu sebagai bentuk pengakuan dan penghormatan terhadap hukum adat atau delik adat, akan etapi tetap dibatasi oleh Pancasila dan UUD 1945.
Sementara itu, Prof Pujiono juga mengatakan bahwa terkait pasal penghinaan kapal negara, yakni pasal 218 tentang dan 240, dijadikan delik aduan. Pasal tersebut tidak membatasi kebebasan pers.
Pasalny, tujuan pengaturan pasal 218 UU KUHP adalah untuk melindungi harkat dan martabat diri Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan,dan tidak akan ada proses hukum tanpa adanya pengaduan yang sah dari pihak yang berhak mengadu.
Untuk diketahui, urgensitas dalam pembentukan KUHP Nasional adalah supaya terdapat sebuah sistem hukum yang memang sangat sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam bangsa Indonesia ini.
Dalam masa transisi menuju tahun 2025 untuk pemberlakuan KUHP Nasional secara menyeluruh ini, Mahupiki terus melakukan serangkaian acara sosialisasi agar meningkatkan pemahaman masyarakat luas secara lebih menyeluruh terkait sistem hukum buatan anak bangsa.
)* Penulis adalah kontributor Nawasena Institute