Pontianak – Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (Mahupiki), kembali menggelar acara sosialisasi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru. Kegiatan sosialisasi kali ini, bekerjasama dengan Universitas Tanjungpura, diselenggarakan di Hotel Mercure, Kota Pontianak, Kalimantan Barat, Rabu (18/1).
Dalam sambutan pembukaan, Sekjen Mahupiki, Dr. Ahmad Sofian, SH., MH., mengatakan, kegiatan sosialisasi ini dirancang untuk mendesiminasikan dan mendialogkan substansi UU KUHP, agar kelompok masyarakat dan penegak hukum, serta para civitas akademika serta mahasiswa, memahami secara mendasar tentang UU KUHP, yang telah disusun lintas generasi dari para pakar hukum pidana Indonesia bersama pemerintah dan DPR RI.
Kegiatan sosialisasi yang dipandu oleh Presenter Berita Fristien Griec ini, dihadiri unsur Forkominda, akademisi, praktisi hukum, penegak hukum, Unsur Forkompimda, Toga, Tomas, mahasiswa dan elemen masyarakat lainnya.
Guru Besar Hukum Universitas Diponegoro Prof. Dr. H. R. Benny Riyanto, SH., M.Hum, dalam paparannya mengatakan, KUHP yang berlaku di Indonesia berasal dari Belanda dan memiliki nama asli Wetboek van Strafrecht voor Nederlansch Indie (WvS). Selain itu, KUHP lama juga belum mencerminkan nilai-nilai budaya bangsa, apalagi mencerminkan dasar negara falsafah Pancasila.
“WvS diadopsi menjadi hukum nasional melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana,“ papar Prof. Benny.
Dalam paparannya, Prof. Benny menambahkan bahwa upaya pembaruan KUHP dimulai sejak 1958 yang ditandai dengan berdirinya Lembaga Pembinaan Hukum Nasional (LPHN). Kemudian pada 1963 diselenggarakan Seminar Hukum Nasional I yang menghasilkan berbagai resolusi antara lain untuk merumuskan KUHP Nasional.
“Tidak benar KUHP Nasional mengatur terlalu banyak perbuatan menjadi suatu Tindak Pidana atau Overkriminalisasi, karena Buku II KUHP Nasional hanya 423 Pasal, sedangkan Buku II dan III KUHP (WvS) ada 465 Pasal”, kata Prof. Benny.
“Urgensi mengganti KUHP WvS dengan KUHP Nasional ada 4 yaitu, terjadi perubahan paradigma, dari paradigma keadilan Retributif, balas dendam dengan penghukuman badan, menjadi Keadilan Korektif (Bagi Pelaku), Keadilan Restoratif (Bagi Korban) dan III. Keadilan Rehabilitatif (Bagi Pelaku dan Korban).,” ungkap Prof Benny.
Rancangan Undang-Undang tentang RUU KUHP, pertama kali disampaikan ke DPR pada Tahun 2012 namun belum sempat dibahas dan pada tahun 2015 Presiden Joko Widodo menyampaikan kembali ke DPR serta menerbitkan Surat Presiden Nomor R-35/Pres/06/2015, tanggal 5 Juni 2015 yang ditindaklanjuti dengan pembahasan secara intensif selama lebih dari 5 tahun.
Penyampaian Kembali RUU KUHP ke DPR, membawa konsekuensi prosedur formal pengajuan RUU KUHP jauh lebih lengkap, karena pada saat itu sudah ada Perpres 87 tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
“Jadi KUHP kita sudah aman dari syarat formil,” tegas Prof Benny.
Sementara itu, Prof.Dr.Topo Santoso, S.H., M.H, memaparkan KUHP terdiri atas 624 pasal, terdiri dari 2 buku, Buku I aturan umum dan Buku II tindak pidana. Sementara dalam KUHP lama ada 3 buku.
“Pada Bab I di Buku I, sekarang sudah mengakomodasi banyak perubahan di jaman modern, yang mana belum tercakup dalam KUHP lama, begitu juga asas-asas yang lain juga mengakomodir banyak perkembangan jaman modern.” Jelasnya.
Dalam kesempatan tersebut, Prof Topo menjelaskan tentang Trias Hukum Pidana, yaitu tindak pidana, petanggungjawaban pidana, serta pidana dan pemidanaan.
“Tujuan pemidanaan ada pencegahan, pemasyarakatan atau rehabilitasi, penyelesaian konflik, penulihan keseimbangan dan penciptaan rasa ama, serta penumbuhan penyesalan terpidana,” kata Prof Topo.
Dalam kesempatan yang sama, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang, Prof Dr Pujiono SH., M,Hum., memaparkan hal yang harus dipahami terlebih dahulu bahwa di dalam hukum intinya ada norma dan value (nilai). Norma terbentuk karena ada ide dasar value yang mendasari.
Prof Pujiono menambahkan, bahwa terdapat 8 isu aktual UU KUHP, yakni Living Law, Aborsi, Kontrasepsi, Perzinaan, Kohabitasi, Perbuatan Cabul, Tindak Pidana terhadap Agama/Kepercayaan dan Tindak Pidana yang berkaitan dengan Kebebasan Berekspresi.
“Terkait living law, yaitu sebagai bentuk pengakuan dan penghormatan terhadap hukum adat atau delik adat, akan etapi tetap dibatasi oleh Pancasila dan UUD 1945,” ujar Pujiyono.
Sementara itu, pasal 218 tentang dan 240, lanjut Prof Pujiono, dijadikan delik aduan. Pasal tersebut tidak membatasi kebebasan pers.
“Tujuan pengaturan pasal 218 UU KUHP adalah untuk melindungi harkat dan martabat diri Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan,dan tidak aka nada proses hukum tanpa adanya pengaduan yang sah dari pihak yang berhak mengadu,” tutur Prof Pujiono.
Dalam acara sosialisasi ini, para peserta mendapatkan merchandise berupa buku salinan UU KUHP baru. Dengan adanya sosialisasi KUHP baru diharapkan dapat meningkatkan pemahaman masyarakat akan pentingnya penyesuaian terhadap KUHP agar lebih sesuai dengan dinamika masyarakat yang ada saat ini. []