Jakarta – Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang telah direvisi merupakan langkah besar yang diambil guna memperbaiki hukum di Indonesia. Apalagi KUHP sebelumnya dinilai sudah usang dan tidak relevan untuk diterapkan pada saat ini, sehingga pengesahan KUHP yang baru merupakang langkah besar untuk mereformasi hukum pidana.
KUHP yang baru tidak hanya mengakomodasi banyak masukan saja, tetapi KUHP nasional tersebutjuga telah banyak disosialisasikan kepada seluruh pemangku kepentingan hingga di semua penjuru Tanah Air.
Dengan banyaknya partisipasi yang dimiliki dan juga bagaimana antusiasme dari seluruh masyarakat Indonesia juga sekaligus menunjukkan bahwa memang keberadaan KUHP baru ini benar-benar didukung oleh banyak pihak.
Maka dari itu, Pemerintah dan DPR RI memberikan rasa terima kasih kepada seluruh masyarakat yang telah berpartisipasi dalam terbentuknya sebuah momen bersejarah tersebut.
Tentu saja pengesahan KUHP tidak hanya sekadar menjadi sebuah momen bersejarah saja lantaran saat ini Indonesia secara resmi sudah memiliki sistem hukumnya sendiri, namun juga menjadi sebuah titik awal dari adanya reformasi penyelenggaraan pidana di Tanah Air melalui perluasan berbagai jenis pidana yang dapat dijatuhkan kepada pihak pelaku tindak pidana.
Ketua DPR RI, Puan Maharani juga mengemukakan bahwa KUHP ini merupakan sebuah upaya rekodifikasi terbuka terhadap seluruh ketentuan pidana dan juga mampu menjawab seluruh perkembangan yang ada di masyarakat saat ini.
Bukan hanya itu, Puan juga menilai keberadaan sistem hukum baru ini juga mampu menyamakan semua pandangan rakyat Indonesia yang kondisinya sangat majemuk.
Dirinya menyatakan bahwa penetapan KUHP secara resmi sebagai sebuah UU untuk menggantikan KUHP lama yang merupakan produk Belanda, merupakan sebuah langkah yang besar dari Bangsa Indonesia dalam upayanya melakukan reformasi hukum pidana dalam kerangka menjadikan Indonesia sebagai sebuah negara hukum yang sangat demokratis.
Bagaimana upaya reformasi hukum pidana ini terlihat dari KUHP nasional yang tidak hanya sekadar mengatur pidana penjara dan denda saja, tetapi juga menambahkan beberapa alternatif pidana lainnya seperti pidana penutupan pidana pengawasan hingga pidana kerja sosial.
Terdapat pula perbedaan yang cukup mendasar, yakni dalam KUHP nasional sudah tidak lagi menempatkan pidana mati sebagai sebuah pidana pokok, melainkan merupakan sebuah pidana khusus yang akan selalu diancamkan secara alternatif. Selain itu, dalam proses penjatuhannya, terpidana akan dikenakan masa percobaan hingga 10 tahun terlebih dahulu.
Jelas saja, seluruh perbedaan yang terjadi antara KUHP nasional dengan KUHP peninggalan kolonial Belanda tersebut merupakan sebuah momen sangat bersejarah, lantara Indonesia telah memiliki sistem hukumnya sendiri dengan terus mengupayakan adanya reformasi hukum pidana. Penetapan KUHP terbaru memang menjadi sebuah langkah yang sangat besar dan patut untuk dibanggakan.
Pada kesempatan sebelumnya, Deputi V Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Jaleswari Pramodhawardani mengatakan, pengesahan KUHP menjadi langkah nyata reformasi hukum pidana Indonesia.
Dalam keterangan tertulisnya Jaleswari mengatakan, KUHP yang disahkan akan menyempurnakan tata regulasi hukum pidana Indonesia yang dicapai melalui konsolidasi ketentuan pidana dalam berbagai undang-undang sektoral dan mencegah adanya disparitas pidana antara satu ketentuan dengan ketentuan lainnya.
Jaleswari menuturkan, bahwa KUHP lama yang disusun pada 104 tahun yang lalu memang perlu untuk diperbarui guna memenuhi tuntutan perkembangan zaman dan kebutuhan nasional akan hukum yang berkeadilan korektif, berkeadilan restoratif dan berkeadilan rehabilitatif.
KSP memiliki keterlibatan dalam upaya kolektif pemerintah untuk mendorong pengesahan KUHP dan mengawal aspek pemberlakuan UU KUHP.
Jaleswari mengatakan, bahwa tim tenaga ahli dan pemerintah juga telah melakukan sosialisasi kepada masyarakat dan menggelar pelatihan bagi aparat penegak hukum untuk memberikan pemahaman terkait makna, esensi dan filosofi dari KUHP.
Perlu diketahui, KUHP yang baru memiliki putusan pemaafan oleh Hakim, di mana Hakim dapat memutuskan untuk tidak menjatuhkan pidana atau tidak dengan mempertimbangkan ringannya perbuatan, keadaan pribadi pelaku, segi keadilan dan kemanusiaan.
KUHP memiliki misi dekolonialisasi yang berarti menghilangkan nuansa kolonial dalam substansi KUHP lama, yaitu mewujudkan keadilan korektif-rehabilitatif-restoratif. Tujuan dan Pedoman Pemidanaan (Standard of Sentencing) dan memuat alternatif sanksi Pidana. Misal pidana pengawasan dan pidana kerja sosial, jika tidak lebih dari lima tahun.
Selanjutnya adalah misi konsolidasi yaitu melakukan Penyusunan kembali ketentuan pidana dari KUHP lama dan sebagian UU Pidana di luar KUHP secara menyeluruh dengan Rekodifikasi (terbuka-terbatas). Tujuannya adalah menghimpun kembali aturan-aturan yang berserakan untuk dihimpun kembali ke dalam KUHP.
Selain itu adapula misi harmonisasi sebagai bentuk adaptasi dan keselarasan dalam merespon perkembangan hukum terkini, tanpa mengesampingkan hukum yang hidup (living law).
Reformasi hukum pidana di Indonesia memang diperlukan guna menghilangkan aturan yang sudah tidak relevan dimana KUHP sebelumnya sudah sangat usang, sehingga pengesahan KUHP yang baru merupakan upaya pemerintah dalam mereformasi Hukum Pidana di Indonesia.