Padang – Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru disahkan pada 6 Desember 2022 lalu, baru bisa berlaku tiga tahun mendatang. Masa transisi itu akan diisi dengan proses sosialisasi ke berbagai pihak, termasuk masyarakat.
Terkait hal itu, Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (Mahupiki) menggelar sosialisasi KUHP di Kota Padang, Sumatera Barat pada Rabu (11/1). Dalam sosialisasi tersebut menghadirkan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang,Prof Dr R Benny Riyanto SH MH, akademisi FHUI, Prof Dr Harkrestuti Harkresnowo SH MA dan Anggota Tim Perumus Rancangan KUHP yang juga Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Mahupiki Dr Yenty Ganarsih SH MH.
Dalam sambutannya, Rektor Universitas Andalas Prof. Yuliandri menegaskan kehadiran UU No. 1/2023 tentang KUHP mampu menandai sejarah hukum Indonesia khususnya terkait reformasi dan pembaruan hukum nasional.
“Pengesahan KUHP sangat penting untuk memberikan kepastian hukum bagi masyarakat” ujarnya
Sementara itu, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang, Prof Dr. Benny Riyanto mengatakan disahkannya KUHP ini merupakan warisan bagi Indonesia. Dirinya pun mengajak semua pihak untuk ikut menyosialisasikan produk hukum lintas generasi tersebut.
Tidak hanya itu, Prof Benny membeberkan bahwa KUHP kolonial memiliki banyak kekurangan, salah satunya tidak mencerminkan nilai-nilai Pancasila.
“KUHP lama peninggalan Belanda sudah ada sejak lebih dari 100 tahun yang lalu, namun sampai saat ini belum ada terjemahan resminya, sehingga muncul banyak terjemahan yang berpotensi menimbulkan multitafsir. Selain itu, belum mencerminkan nilai-nilai budaya bangsa, apalagi mencerminkan dasar negara falsafah Pancasila” imbuhnya
Dengan demikian, tambah Prof Benny, KUHP lama perlu untuk diganti karena telah terjadi pergeseran paradigma dari keadilan retributif menjadi paradigma keadilan korektif, rehabilitatif , dan restoratif.
Narasumber lainnya, Akademisi Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI), Prof Dr Harkrestuti Harkresnowo mengapresiasi pengesahan KUHP baru yang telah mengakomodasi konsep Living Law. Adanya Living Law dalam KUHP Nasional merupakan sebuah penghargaan kepada masyarakat hukum adat.
“Namun ada kekeliruan dari masyarakat tatkala diterapkannya living law, maka ada penyimpangan terkait asas legalitas, tentu ini tidak benar karena semua harus ada bukti ilmiah bahwa peraturan tersebut masih diterapkan di masyarakat dan diatur dalam Perda”, ujarnya.
Hal baru berikutnya adalah tentang Pasal perzinahan yang masih terdapat perbedaan. Menurut, Prof Dr Harkrestuti saat ini ada pendapat yang menyatakan bahwa itu adalah hak privat, namun di sisi lain ada masyarakat yang justru menuntut supaya itu menjadi delik aduan saja.
“Di sini kita mencoba menjadi jembatan antar kedua pendapat ini bahwa akan ada kriminalisasi terhadap perzinahan kedua orang di luar perkawinan namun hanya bisa dilakukan apabila ada aduan dari orang-orang tertentu yang sudah diatur, sehingga tidak semua orang bisa melakukan pengaduan dan menghindari adanya main hakim sendiri” jelasnya
Anggota Tim Perumus Rancangan KUHP Dr Yenti Ganarsih SH MH mengatakan KUHP Nasional telah ada beberapa pembaharuan dan juga telah menganut nilai-nilai secara universal, yang sejak dulu hingga sekarang tetap ada.
“Ada beberapa keunggulan dari KUHP Nasional karena merupakan bentukan dari anak bangsa, seluruh stakeholder masyarakat juga turut berperan di dalamnya, dengan tujuan agar negara ini masyarakatnya tidak melakukan tindak kejahatan” ujarnya
Untuk diketahui, kegiatan sosialisasi tersebut digelar di Hotel Premiere Padang Sumatera Barat. Acara itu menghadirkan sejumlah tokoh di Sumatera Barat hingga praktisi hukum.
*