Medan-KUHP baru merupakan upaya mengubah KUHP WvS menjadi KUHP Nasional yang sesuai dengan nilai-nilai luhur Pancasila. Hal tersebut dikatakan Guru besar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang, Prof. Dr. Pujiyono SH M.Hum, pada acara sosialisasi KUHP baru di Medan-Sumatra Utara.
Dalam sosialisasi yang diselenggarakan oleh Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (MAHUPIKI) juga menghadirkan Narasumber lain sangat berkompeten, diantaranya Prof. Marcus Priyo Gunarto dan Dr. Surastini Fitriasih SH, MH.
Dalam sambutannya Ketua Mahupiki Sumatera Utara, Dr. Rizkan Zulyadi yang mengatakan bahwa KUHP baru merupakan produk hukum anak bangsa yang memberikan dampak positif bagi penegakan hukum pidana di Indonesia.
Sementara itu Guru besar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang, Prof. Dr. Pujiyono, SH. M.Hum., menjelaskan urgensi dari penyusunan KUHP baru agar sesuai dengan nilai-nilai yang melekat pada NKRI.
“Kalo bangsa Indonesia ini memiliki sistem nilai yang berbeda dengan belanda, tentunya kita butuh satu undang-undang KUHP yang memang itu adalah jiwa kita.” jelas Pujiono.
Ia menambahkan, pembuatan KUHP baru ini merupakan upaya dekolonialisasi mengubah KUHP WvS menjadi KUHP Nasional yang sesuai dengan budaya dan cerminan nilai-nilai luhur Pancasila.
“Dengan berbagai dasar pemikiran itu kemudian memunculkan ide-ide dalam KUHP baru dengan nilai-nilai dasar Pancasila; menjaga keseimbangan monodualistik; pengalaman historis dan kondisi empirik; serta perkembangan keilmuan atau teori serta dinamika masyarakat,” ucap Prof Pujiyono.
Pada kesempatan yang sama, Guru Besar Hukum Pidana UGM itu mengatakan, reaksi yang muncul dalam pengesahan KUHP baru pasti muncul dan hal ini merupakan sesuatu yang terbilang wajar.
Ia menilai, reaksi itu sudah ada dimulai dari kemunculan wacana KUHP baru. Lalu, ada lagi reaksi ketika draft mulai disusun, reaksi saat KUHP baru dibahas dan reaksi setelah KUHP baru disahkan sebagai UU KUHP bahkan, diperkirakan belum berhenti.
“Karena yang namanya undang-undang pidana itu selalu bersifat mengurangi kebebasan seseorang, ketentuan-ketantuan yang membatasi kebebasan itu dihapuskan. Itu sesuatu yang wajar,” ujar Prof Marcus.
Sementara itu, Akademisi Universitas Indonesia, Dr. Surastini Fitriasih, SH., MH., memaparkan beberapa isu krusial yang terdapat dalam KUHP baru. Salah satu isu penting yang banyak terjadi pro dan kontra di berbagai kalangan masyarakat adalah hukum pidana mati.
Menurutnya, hukum pidana mati yang dijatuhkan kepada pelaku kejahatan diatur dalam KUHP dimana hakim memberikan keputusan hukuman mati dengan masa 10 tahun percobaan dengan berbagai pertimbangan.
“jadi tidak dikatakan bahwa konstitusional atau inkonstitusional karena memang sebetulnya kan salah satu hak hidup itu yang tidak dapat dikurangi, tapi mahkamah konstitusi mengatakan ini masih diperlukan,” ujar Prof Surastini.
“jadi bisa diubah kalau perilakunya dalam masa percobaan itu berkelakuan baik dan terpuji bisa diubah menjadi penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 tahun,” lanjutnya
***