Oleh : Gita Oktaviani )*
KUHP Nasional sangat mampu untuk mengakomodir adanya tindak pidana lantaran menggunakan model kodifikasi yang terbuka. Bahkan jauh lebih komprehensif jika dibandingkan dengan KUHP lama produk Belanda karena terlalu terkungkung dalam Undang-Undang saja dan sama sekali tidak mewadahi adanya living law.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Nasional telah diresmikan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) dengan tujuan untuk menggantikan KUHP lama produk jaman kolonial Belanda dulu.
Terkait hal tersebut, Guru Besar Hukum Universitas Gadjah Mada Prof. Dr. Marcus Priyo Gunarto menilai bahwa terdapat sejumlah keunggulan dari KUHP Nasional dibandingkan KUHP warisan kolonial. Dalam hal ini, perubahan yang paling mendasar sebetulnya terletak di Buku I, karena ada perubahan paradigma tentang pidana. Ternyata pidana itu adalah alat untuk mencapai tujuan, sehingga semua akan merubah konteks peradilan pidana.
Secara prinsip pidana memiliki tujuan. Dalam hal ini, pidana sendiri bertujuan untuk melakukan perlindungan atau pembinaan individu. Pidana juga untuk memberikan perlindungan kepentingan umum atau masyarakat. Dengan demikian, pidana itu merupakan perlindungan dari perbuatan jahat, karena orang yang melakukan perbuatan jahat akan dijatuhi pidana.
Tidak hanya itu, berdasarkan prinsip perlindungan, pidana mengatur atau membatasi kesewenang-wenangan penguasa dan warga masyarakat yang main hakim sendiri. Salah satu contohnya adalah mengenai kohabitasi, ada masyarakat yang meyakini kohabitasi dilarang, namun ada kelompok masyarakat tertentu yang masih melakukan. Kemudian ada juga di kelompok masyarakat lain yang melakukan main hakim sendiri dengan penggerebekan. Ketika itu ditentukan sebagai delik aduan, dibatasi siapa yang berhak mengajukan aduan, itu menjadi jalan tengah.
Sementara itu, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Diponegoro Prof. Dr. Pujiyono, SH. M.Hum. mengatakan, beberapa aspek yang menjadi dasar KUHP baru atau nasional adalah pada KUHP warisan kolonial belum adanya pemisahan aspek individu dan klaster. Selain itu, dalam KUHP lama belum berorientasi pada orang atau aliran modern, tidak ada bab kesalahan atau pertanggungjawaban pidana, korban belum mendapat tempat atau berorientasi hanya pada pelaku, denda atau alternatif sanksi sangat sedikit atau sangat ringan karena bernilai pada masa kolonial.
Hal tersebut mengemuka dalam kegiatan sosialisasi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru di Medan, Sumatera Utara, pada Senin (9/1/2023). Acara yang diselenggarakan di Hotel Grand Mercure Maha Cipta Medan Angkasa ini merupakan hasil kerjasama Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi (Mahupiki) dengan Perguruan Tinggi Negeri (PTN) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU). Adapun narasumber kegiatan sosialisasi tersebut adalah Prof. Dr. Pujiyono SH M.Hum, Prof. Dr. Marcus Priyo Gunarto, SH M.Hum, dan Dr. Surastini Fitriasih SH, MH.
Pembuatan KUHP nasional yang bisa dikatakan cukup lama ini sudah berupaya menyerap seluruh aspirasi dari banyak kalangan, mengambil pendekatan kemanusiaan atau orientasi pidana pada pelaku-korban-masyarakat, sehingga membuka sebuah ruang atau hal baru demi menjamin kepastian hukum dan pembaruan hukum.
Pasalnya, upaya pemerintah dengan mengesahkan KUHP Nasional menggunakan model kodifikasi terbuka karena memang sudah tidak mungkin lagi dilakukannya kodifikasi tertutup. Hal tersebut berarti, meski telah sedemikian rupa suatu aturan dimasukkan ke dalam KUHP Nasional, namun masih saja dimungkinkan untuk terjadinya perkembangan-perkembangan yang bertujuan untuk terus mengakomodir perkembangan baru yang dimungkinkan untuk berkembang di luar KUHP.
Maka dari itu, dalam KUHP Nasional sendiri tatkala hendak melakukan perumusan tindak pidana bukan hanya berdasarkan kepada Undang-Undang yang formal saja, melainkan juga berdasarkan kepada hukum yang selama ini telah hidup di dalam masyarakat atau yang biasa disebut dengan nama living law.
Tentunya, dengan kemungkinan dimuatnya tindak pidana meski berasal dari luar Undang-Undang, membuat tindakan atas hukum pidana menjadi jauh lebih komprehensif dan diharapkan mampu lebih menegakkan keadilan dan hukum yang ada di Indonesia, karena akan menjadi susah apabila hanya terpatok kepada Undang-Undang tatkala hendak membuat sebuah peraturan akan tindak pidana.
Jika masih terus berpatokan pada KUHP lama tersebut, maka bukan tidak mungkin, ketika ada tindak kejahatan tertentu namun sama sekali belum ada aturannya dalam UU, pihak korban akan sangat dirugikan dan sebaliknya, pihak pelaku bisa saja diuntungkan karena dirinya sama sekali tidak bisa ditindak.
Maka memang secara realitas di masyarakat, sesuatu yang disebut dengan tindak pidana bukanlah serta-merta adalah sesuatu yang hanya terkungkung dalam Undang-Undang saja, sehingga memang masih sangat banyak hal tercela lain yang sama sekali belum terakomodir dalam UU.
Terlebih, pada pembaharuan KUHP Nasional sendiri, perumusan tindak pidana yang dilakukan sudah tidak lagi secara tegas juga mencantumkan unsur ‘dengan sengaja’ sebagaimana dalam KUHP lama. Pasalnya, seluruh tindak pidana jika dalam KUHP Nasional sudah secara otomatis diasumsikan kalau hal tersebut dilakukan dengan sengaja.
Jelas sekali bahwa penentuan tindak pidana dalam KUHP Nasional sangatlah komprehensif, hal tersebut dikarenakan model pembaharuan yang termuat dalam sistem hukum asli buatan anak bangsa ini telah menganut model kodifikasi terbuka, sehingga memungkinkan adanya tindak pidana di luar Undang-Undang karena juga mengakomodasi adanya living law.
)* Penulis adalah kontributor Jendela Baca Institute