Oleh : Janu Farid Kesar )*
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang telah direvisi rupanya sempat menuai penolakan dari beberapa pihak, namun demikian, KUHP yang baru mampu mendorong keadilan korektif dan restorative yang dibutuhkan di zaman sekarang.
Perlu diketahui bahwa keadilan korektif adalah, keadilan yang berkaitan dengan pembetulan yang salah, memberikan kompensasi kepada pihak yang dirugikan atau hukuman yang pantas bagi pelaku kejahatan.
Sedangkan keadilan Restoratif merupakan pemulihan hubungan baik antara pelaku kejahatan dengan korban kejahatan, sehingga hubungan antara pelaku kejehatan dengan korban kejahjatan sudah tidak ada dendam.
Mufti Makarim selaku Tenaga Ahli Utama Kedeputian V Kantor Staf Presiden (KSP) mengatakan bahwa KUHP mampu mendorong pemenuhan keadilan korektif dan restorative.
Dirinya menyatakan, bahwa KUHP saat ini hadir sebagai wujud paradigma hukum pidana modern Indonesia dan mengandung elemen keadilan korektif dan restoratif yang relevan dengan nilai-nilai kemanusiaan serta mengedepankan perspektif yang kontekstual dalam melibat suatu peristiwa pidana.
Elemen keadilan korektif pada KUHP tercermin pada upaya penjeraan terhadap pelaku kejahatan, khususnya dalam tindak pidana yang mengancam keselamatan jiwa dan mengandung kekerasan. Dalam konteks yang lebih luas, diharapkan akan terjadi deterrence effect demi mencegah masifnya dan tindak pidana serupa ke depan.
Di sisi lain, Mufti juga menyampaikan bahwa konsep pemidanaan pada KUHP kini jauh lebih kontekstual, karena mengatur beberapa upaya keadilan restoratif atau penyelesaian permasalahan hukum secara humanis.
Sebelumnya, pendekatan keadilan restoratif diatur dalam Surat Pendekatan Keadilan restoratif yang diatur dalam Surat Keputusan Direktur Badan Peradilan Umum Mahkamah Agung Republik Indonesia, tentang pemberlakuan pedoman penerapan keadilan restoratif (Restorative Justice).
Mufti menegaskan, melalui Judicial Pardon atau pemaafan, hakim memiliki kewenangan untuk memberi maaf pada seseorang yang melakukan tindak pidana yang sifatnya ringan. KUHP baru juga turut mengedepankan konsep pidana yang memperhatikan kepentingan pemulihan korban tindak pidana.
Dirinya menyampaikan bahwa aspek restoratif ini penting untuk menjamin tercapainya keseimbangan dalam pencapaian tujuan penegakan hukum itu sendiri.
Dalam konteks KUHP, upaya restoratif ini menjadi hal yang penting, karena tujuan hukum tidak terbatas pada pencapaian kepastian hukum semata, tetapi juga harus mampu mencapai keadilan dan kemanfaatan bagi masyarakat. Tujuan-tujuan inilah yang ruangnya turut dibuka dalam upaya restoratif di KUHP.
Mufti menyatakan bahwa ke depan pemerintah akan berfokus pada sosialisasi KUHP kepada para Aparat Penegak Hukum (APH), sebelum KUHP berlaku efektif tiga tahun mendatang.
Ia juga berharap, agar aparat penegak hukum mampu memahami KUHP dengan baik serta memastikan pengimplementasian KUHP ke depan konsisten dengan semangat awal dari penyusunan KIHP baru ini.
APH perlu memahami bahwa KUHP saat ini mengatur keseimbangan-keseimbangan seperti antara kepentingan umum atau negara dan kepentingan individu, antara unsur perbuatan dan sikap batin, antara kepastian hukum dan keadilan, antara hukum tertulis dan hukum yang hidup dalam masyarakat, serta antara nilai nasional dan nilai universal.
KUHP Peninggalan zaman kolonial Belanda yang masih dipakai sampai saat ini, secara politik hukum belum mencerminkan nilai-nilai budaya bangsa apalagi nilai-nilai dasar Falsafah Negara yaitu Pancasila. Oleh karenanya, semua produk hukum kolonial perlu segera diganti dengan produk hukum nasional.
KUHP yang baru memiliki putusan pemaafan oleh Hakim, di mana Hakim dapat memutuskan untuk tidak menjatuhkan pidana atau tidak dengan mempertimbangkan ringannya perbuatan, keadaan pribadi pelaku, segi keadilan dan kemanusiaan.
KUHP memiliki misi dekolonialisasi yang berarti menghilangkan nuansa kolonial dalam substansi KUHP lama, yaitu mewujudkan keadilan korektif-rehabilitatif-restoratif. Tujuan dan Pedoman Pemidanaan (Standard of Sentencing) dan memuat alternatif sanksi Pidana. Misal pidana pengawasan dan pidana kerja sosial, jika tidak lebih dari lima tahun.
Selanjutnya adalah misi konsolidasi yaitu melakukan Penyusunan kembali ketentuan pidana dari KUHP lama dan sebagian UU Pidana di luar KUHP secara menyeluruh dengan Rekodifikasi (terbuka-terbatas).
Tujuannya adalah menghimpun kembali aturan-aturan yang berserakan untuk dihimpun kembali ke dalam KUHP.
Selain itu adapula misi harmonisasi sebagai bentuk adaptasi dan keselarasan dalam merespon perkembangan hukum terkini, tanpa mengesampingkan hukum yang hidup (living law).
Pada kesempatan berbeda, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna H Laoly, mengatakan KUHP baru memperluas jenis pidana yang dapat dijatuhkan terhadap pelaku tindak pidana. Terdapat tiga jenis pidana dalam KUHP baru yakni pidana pokok, pidana tambahan dan pidana khusus. Dalam penjatuhan hukuman, pelaku tindak pidana dapat diganjar hukuman pidana pokok dan pidana tambahan.
Ada sejumlah pidana tambahan yang diatur dalam KUHP baru, salah satunya adalah pencabutan hak tertentu. Pencabutan hak memegang jabatan publik pada umumnya, atau jabatan tertentu. Kemudian hak menjadi anggota TNI dan Kepolisian.
Oleh karena itu KUHP yang baru tentu saja perlu untuk mewujudkan keadilan korektif serta keadilan restorative.
)* Penulis adalah kontributor Ruang Baca Nusantara