Yogyakarta – Radikalisme sudah ada di lingkungan pendidikan ketika ada kepala sekolah yang terbukti menjadi anggota kelompok teroris. Radikalisme di lingkungan pendidikan harus dicegah agar para murid tidak dicuci otaknya dan menjadi calon teroris. Masyarakat mendukung penuh pencegahan radikalisme dan intoleransi di sekolah, agar para murid tidak bercita-cita menjadi calon teroris.
Sekolah adalah tempat untuk menerima pendidikan yang baik, dan seorang guru sangat dihormati karena ia mengajarkan ilmu pengetahuan kepada para murid. Sedangkan kepala sekolah memimpin lembaga pendidikan tersebut agar makin baik dan memiliki banyak prestasi.
Namun alangkah sayangnya saat ini radikalisme sudah ada di lingkungan pendidikan, ketika seorang pengajar di sekolah di Gunung Kidul, DI Yogyakarta, mengajarkan yel-yel bernada rasis dan radikal. Selain itu ada kepala sekolah SD berinisial AR yang ditangkap aparat karena terbukti menjadi anggota kelompok radikal.
Oleh karena itu radikalisme di lingkungan sekolah harus dicegah agar pikiran murid-murid tidak teracuni oleh terorisme dan radikalisme. Di Solo, sebuah organisasi non pemerintah bernama Solo Bersimfoni, menyebarkan hasthalaku (delapan perilaku) sebagai upaya pencegahan radikalisme di sekolah.
Ketua Solo Bersimfoni, Farid Sunarto, menyatakan bahwa organisasinya berkomitmen untuk mendorong regulasi yang bersifat menekan munculnya intoleransi dan radikalisme. Ada 100 relawan di Solo raya yang mensosialisasikan hasthalaku, yang isinya: guyub rukun, grapyak (ramah), lembah manah (rendah hati), ewuh pakewuh (sopan santun), andhap asor (rendah hati), tepa selira (mendukung perasaan sesama).
Dalam artian, jika para murid memahami arti hasthalaku dan mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari maka mereka akan hidup rukun dan ramah pada sesama. Mereka juga tepa selira, yang merupakan dasar dari toleransi. Dengan begtitu maka para murid tidak akan intoleransi dan memahami bahwa semua orang berhak punya perbedaan.
Jika para murid penuh toleransi maka mereka tidak akan terpengaruh oleh radikalisme. Penyebabnya karena kelompok radikal selalu rasis dan intoleran, dan pahamnya ditolak mentah-mentah oleh para murid tersebut.
Kemudian, para orang tua harus mewaspadai agar anak-anaknya tidak terpapar radikalisme di sekolah. Oleh karena itu, sebelum memasukkan anak-anak ke sebuah sekolah (baik negeri maupun swasta), harus dilihat latar belakang guru dan kepala sekolahnya.
Untuk mengetahui apakah sebuah lembaga pendidikan radikal atau tidak, maka para orang tua bisa menelitinya. Ketika belum mendaftar maka bisa meminta school tour dan melihat bagian dalam sekolah. Biasanya lembaga pendidikan radikal tidak memajang poster pancasila, burung garuda, dan tidak menampakkan foto presiden dan wakilnya. Tidak ada juga tiang bendera yang mengibarkan merah-putih, karena kelompok radikal tidak cinta NKRI.
Sementara itu, Bupati Jepara Dian Kristiandi menyatakan bahwa para murid dan guru harus waspada terhadap radikalisme di sekolah. Penyebabnya karena menurut sebuah survey, ada lebih dari 10% sekolah yang terpapar oleh radikalisme.
Dalam artian, radikalisme di lingkungan pendisikan sangat berbahaya karena bisa meracuni pemikiran para murid yang polos, apalagi jika mereka masih SD. Jangan sampai anak-anak malah bercita-cita jadi teroris dan mengebom fasilitas umum. Mereka harus bebas dari radikalisme yang bisa merusak bangsa.
Untuk mencegah radikalisme di lingkungan pendidikan maka bisa digunakan beberapa cara. Pertama, perlunya kurikulum anti radikalisme yang mengajarkan tentang serba-serbi radikalisme, agar para murid bisa mengetahui ciri-cirinya. Tidak perlu takut untuk mengajarkan mereka mengenai sejarah radikalisme, organisasinya, dll. Penyebabnya karena justru setelah paham, mereka akan menghindarinya.
Cara kedua adalah dengan pendidikan literasi media. Para murid tidak hanya diajarkan cara membaca dan membuat resensi buku. Namun mereka juga diberi ilmu literasi media, terutama pada media online. Saat ini ada media online buatan kelompok radikal, yang sengaja menyebarkan hoaks dan propaganda, dengan tujuan untuk mencari pendukung dari netizen di seluruh Indonesia.
Jika para murid memahami literasi media maka mereka tidak akan mudah terpancing oleh propaganda dan bertekad untuk anti hoaks. Mereka paham bagaimana membedakan antara berita asli dan berita palsu. Setelah paham, maka akan mengajarkannya ke orang tua di rumah, sehingga makin banyak orang yang paham literasi media digital.
Cara ketiga adalah dengan mengajarkan para murid untuk berpikir kritis. Para guru wajib mengajarkannya karena jangan hanya menuntut murid untuk diam dan menulis saat pelajaran. Keterampilan untuk berpikir kritis sangat diperlukan karena mereka akan sadar bahwa radikalisme dan terorisme itu salah, karena berpikir bahwa yang diajarkan oleh kelompok radikal sangat berlebihan. Tidak mungkin ada khilafah karena Indonesia adalah negara pluralis.
Jika para murid biasa berpikir kritis dan diberi ruang untuk berpendapat, bahkan berdebat, maka mereka akan tumbuh jadi pribadi yang tangguh dan cerdas. Jika ada rayuan dari kelompok radikal maka tidak akan mempan, karena mereka sangat kritis dan mempertanyakan, apa hebatnya sistem khilafah? Sistem ini hanya cocok di negara monarki, sedangkan Indonesia adalah negara demokrasi.
Masyarakat wajib mewaspadai penyebaran radikalisme di lingkungan pendidikan karena ada seorang kepala sekolah yang terbukti jadi anggota kelompok teroris. Jangan sampai anak-anak tidak menuntut ilmu, tetapi malah dididik jadi radikal yang kejam. Oleh karena itu pilih sekolah yang benar dan tidak terpapar radikalisme.