Oleh : Mika Putri Larasati)*
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru, sempat dianggap sebagai regulasi yang mengganggu demokrasi. Hal tersebut tentu tidak benar karena bagaimanapun juga KUHP tidak memiliki tujuan untuk membungkam demokrasi yang merupakan landasan bagi pemerintahan di Indonesia.
Pendapat bahwa KUHP mengancam aspirasi dan kebebasan berpendapat adalah keliru. Hal itu ditegaskan oleh pihak Kantor Staf Presiden (KSP) yang membantah bahwa anggapan KUHP disahkan untuk menjadi alat kekuasaan pemerintah saat ini guna membunuh demokrasi, merupakan hal yang tidak benar.
Sigit Pamungkas selaku Tenaga Ahi Utama Kantor Staf Presiden, mengatakan bahwa KUHP justru merupakan refleksi dari pengalaman dan harapan demokrasi ke depan.
Dalam kesempatan konferensi pers, Sigit menuturkan, KUHP tidak akan membungkam demokrasi. Formulasi KUHP terkait kebebasan berpendapat merupakan refleksi dari pengalaman bangsa dalam berdemokrasi yang telah lalu sekaligus harapan keadaban berdemokrasi di masa depan.
Menurut Sigit, kebebasan berpendapat saat ini berada dalam situasi yang berbeda dari masa sebelumnya. Karena itu, proses pembaharuan dan pengesahan RKUHP dinilai sudah sesuai dengan aspirasi publik dan mekanisme demokratis yang ada.
Sigit mengatakan dulu kebebasan berpendapat masih dibatasi dengan kontrol terhadap partai, masyarakat sipil dan media. Saat ini, pilar-pilar demokrasi tersebut dibebaskan untuk beraspirasi. Parlemen juga terbuka bagi masyarakat publik. Melalui mekanisme pemilu yang rutin, supremasi sipil juga terjamin. Jadi terlalu berlebihan pandangan apabila KUHP mematikan demokrasi.
KUHP yang baru disahkan ini akan berlaku secara efektif tiga tahun mendatang. Selama masa transisi ini, pemerintah akan terus melakukan sosialisasi dan edukasi kepada publik serta aparat penegak hukum tentang pasal-pasal yang telah ditetapkan dalam KUHP yang baru.
Sementara itu, dalam perspektif geopolitik, Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas) Andi Widjajanto mengingatkan bahwa pengesahan KUHP adalah bentuk penguatan otonomi strategis Indonesia.
Andi menjelaskan, keinginan Indonesia untuk mengadopsi paradigma hukum pidana modern yang meliputi keadilan korektif, keadilan restoratif, serta keadilan rehabilitatif harus menjadi prioritas baru dalam membangun kolaborasi dengan negara lain.
Kepentingan nasional tersebut bertujuan untuk menjaga iklim demokrasi dan dapat diterjemahkan menjadi sikap Indonesia dalam kerangka hubungan luar negeri. Dengan pengesahan KUHP, tentu saja kebutuhan Indonesia untuk menjaga sendi-sendi demokrasi di tengah merebaknya tren global tentang politik identitas, ujaran kebencian, serta poltik hoaks harus menjadi rujukan utama dalam praktik diplomasi Indonesia.
Sementara itu, pembentukan KUHP yang baru sudah melalui proses panjang. Produk hukum ini merupakan hasil manifestasi dari aspirasi publik yang menyuarakan pentingnya KUHP yang sesuai dengan konteks Indonesia saat ini.
Karena itu sudah pasti, dalam proses pembentukan dan penyesuaian pasal-pasal KUHP tersebut selalu mengedepankan prinsip demokrasi dan juga kemanusiaan.
Apalagi proses pembentukan KUHP selama ini juga turut melibatkan kalangan akademisi yang kredibel, baik secara keilmuan maupun independensi.
Sehingga, adanya tuduhan yang mengatakan bahwa KUHP membahayakan demokrasi dan keselamatan masyarakat tentu saja tidak tepat. Justru di masa berlakunya UU yang ada sebelum adanya KUHP baru lebih berpotensi bertentangan dengan demokrasi dan keselamatan masyarakat tinggi.
Pada kesempatan berbeda, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko menegaskan bahwa KUHP yang baru saja disahkan bukanlah untuk kepentingan pemerintah saat ini, melainkan untuk memberikan perlindungan dan kepastian hukum kepada masyarakat.
Hal tersebut disampaikan Moeldoko dalam kesempatan rapat koordinasi KUHP bersama kementerian/lembaga terkait di Jakarta.
Moeldoko mengatakan, sebagai produk hukum, KUHP mendekonstruksi paradigma hukum pidana menuju keseimbangan antara kepastian hukum dan keadilan. Oleh karenanya, KUHP merupakan manifestasi dari reformasi hukum yang selama ini diarahkan Presiden Jokowi, terutama dalam hal penataan regulasi hukum pidana.
Dirinya menilai, meskipun memiliki tujuan dan dampak yang mulia, KUHP saat ini menjadi target mispersepsi bahkan hoax, baik dari dalam maupun luar negeri, hal tersebut disebabkan karena belum adanya pemahaman yang jelas di masyarakat.
Oleh karena itu, selama tiga tahun masa transisi, pemerintah akan terus memberikan edukasi kepada masyarakat dan aparat penegak hukum untuk mencegah munculnya hoaks di ruang publik dan mispersepsi terhadap pasal-pasal KUHP.
Tentu amat sangat berlebihan jika ada yang berpandangan bahwa KUHP mematikan demokrasi.
KUHP yang baru disahkan tersebut akan menjadi “tinggalan” Presiden Jokowi di mana UU tersebut akan berlaku secara efektif pada tiga tahun mendatang. Sehingga sangat tidak bisa dibenarkan jika KUHP yang baru bertujuan untuk melindungi Jokowi yang pada 2024 akan turun dari kursi Presiden.
Selama masa transisi ini, pemerintah akan terus memberikan edukasi kepada publik aparat penegak hukum tentang pasal-pasal yang telah ditetapkan dalam KUHP yang baru.
KUHP akan berlaku pada tahun 2025. UU tersebut merupakan upaya pemerintah untuk membebaskan nuansa kolonial yang ada pada KUHP yang lama.
)* Penulis adlah kontributor Ruang Baca Nusantara