Oleh : Dhanang Aswara
Perlu diketahui bahwa Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang dimiliki oleh Indonesia dibuat pada tahun 1880, artinya sudah 222 tahun aturan tersebut tidak diubah. Sehingga perlu pembaruan melalui Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) demi kepastian hukum yang relevan dengan perkembangan zaman.
RKUHP rupanya telah diinisiasi pada tahun 1958 dan mulai dibahas di DPR RI sejak 1963. KUHP lama sudah harus berubah karena dibuat pada zaman aliran klasik yang menggunakan hukum pidana sebagai sarana balas dendam.
Sedangkan saat ini, orientasi hukum pidana tidak lagi pada keadilan retributif atau balas dendam, melainkan sudah berorientasi pada keadilan korektif, keadilan restoratif dan keadilan rehabilitatif.
KUHP yang baru tentu diperlukan karena saat ini Indonesia tidak hanya memasuki era 4.0, tetapi 5.0 yaitu era disrupsi yang mana seluruh tatanan dunia telah berubah dan hal tersebut belum diakomodasi dalam KUHP lama.
Selain itu pemerintah juga perlu melakukan harmonisasi dan sinkronisasi terhadap kurang lebih 200 undang-undang sektoral di luar KUHP yang memuat berbagai ancaman pidana dengan berbagai model dan modifikasi. Hal ini tentunya harus disinkronisasi sehingga tidak terjadi disparitas pidana.
Harmonisasi merupakan salah satu dari 5 misi pembaruan hukum yang diusung RKUHP. Selain harmonisasi, misi lainnya yakni dekolonialisasi, demokratisasi, konsolidasi dan modernisasi. Namun demikian, pengesahan RKUHP masih menghadapi sejumlah tantangan besar. Mengingat Indonesia merupakan negara multi etnis, multi religi dan multi culture.
Tentu saja upaya dalam menyusun Kitab Undang-undang dalam masyarakat yang heterogen tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Setiap isu pasti akan menimbulkan kontroversi, sehingga diperlukan formulasi yang tepat untuk mengakomodasi berbagai kepentingan.
Di setiap proses pembentukan peraturan atau regulasi termasuk RKUHP, perdebatan memang selalu mewarnai. Hal ini bisa jadi disebabkan karena salah tafsir dari beberapa pihak dalam mencerna kalimat yang tertulis di RKUHP.
Misalnya tentang aturan yang melarang menghina presiden, aturan tersebut diframing oleh sebagian orang sebagai regulasi yang melarang kritikan terhadap Presiden. Padahal setelah ditelaah, aturan tersebut memiliki makna larangan menghina presiden, misal menyebut presiden dengan sebutan hewan.
Pada pasal 218 ayat 1 menyebutkan : “Setiap orang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun 6 bulan atau podana denda paling banyak kategori IV”
Yang dimaksud dengan ‘menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri’ pada dasarnya merupakan penghinaan yang menyerang nama baik atau harga diri Presiden atau Presiden di muka umum, termasuk menista dengan surat, memfitnah dan menghina dengan tujuan memfitnah.
Tentu saja perlu dibedakan antara menghina dengan mengkritik, aturan tersebut tidak ada larangan bagi siapapun untuk memberikan kritikan terhadap Presiden.
Kritik artinya adalah proses analisis dan evaluasi terhadap sesuatu dengan tujuan untuk meningkatkan pemahaman, memperluas apresiasi atau membantu pekerjaan.
Sedangkan penghinaan adalah pernyataan yang tidak sopan, di mana hal tersebut tentu saja bisa dikenakan sanksi pidana.
Edward Omar Sharif Hiariej selaku wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) mengatakan, kritik yang dimaksud adalah untuk kepentingan umum yang diungkapkan dengan hak berekspresi dan berdemokrasi.
Kritik untuk kepentingan umum adalah kritik atau pendapat berbeda dengan kebijakan presiden atau wakil presiden. Harus disertai dengan pertimbangan baik buruk kebijakannya.
Kritik yang ditujukan kepada pemerintah sebisa mungkin adalah kritik yang konstruktif dan memberikan alternatif solusi atau kritik itu harus dengan cara objektif.
Selain itu, kritik yang ditujukan kepada presiden dan wakil presiden juga tidak bermuatan merendahkan atau menyerang harkat dan martabat, menyinggung karakter atau kehidupan pribadi.
Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly telah memastikan bahwa pasal penghinaan Presiden dan Wakil Presiden tersebut sama sekali tidak memiliki niat untuk membatasi kritik. Apalagi peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia juga membuka ruang atas kritik tersebut.
Secara tegas Yasonna mengatakan bahwa pasal penghinaan Presiden dan Wakil Presiden di RKUHP ini berbeda dengan pasal sejenis yang pernah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Dirinya menilai bahwa terlalu liberal jika membiarkan penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden.
Sementara itu, Beberapa orang menganggap bahwa RUKUHP bertujuan untuk menghidupkan kembali kolonialisasi, tapi nyatanya tidak ada kajian khusus yang benar-benar spesifik mengurai apa saja yang disebut sebagai warisan nilai-budaya kebarat-baratan, khususnya dalam hukum di Indonesia.
Di sisi lain, apa yang disebut sebagai nilai-budaya kebarat-baratan itu sendiri juga memang tidak jelas, tidak ada indikator yang jelas pula dengan apa yang disebut sebagai kebarat-baratan.
Kepastian hukum tentu saja diperlukan, sosialisasi sebelum pengesahan RKUHP juga telah dilakukan, sehingga diharapkan kepastian hukum yang relevan dengan perkembangan zaman bisa terwujud.
*) Penulis adalah Analis Hukum Pusat Kajian Nusantara