Suarapapuanews, Denpasar— KTT G20 Indonesia berhasil melahirkan sebuah rumusan peta jalan transisi energi. Hal tersebut menjadi sangat penting agar segera bisa membantu pemulihan dunia secara bersama-sama, utamanya dalam menghadapi krisis akibat inflasi energi yang begitu tinggi sekarang ini.
Roadmap atau peta jalan transisi energi merupakan sebuah kerangka aksi yang bertujuan bisa mempercepat proses transisi energi, dimana hal tersebut diinisiasi langsung oleh Indonesia selaku tuan rumah sekaligus Presidensi dalam Konferensi Tingkat Tinggi Group of Twenty (KTT G20) dan juga diharapkan akan bisa terus dilanjutkan oleh Presidensi G20 selanjutnya.
Terkait hal tersebut, Staf Ahli Bidang Perencanaan Strategis Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Yudo Dwinanda menyatakan bahwa Bali Energy Transitions Roadmap disusun berdasarkan tiga hal yaitu prinsip percepatan transisi energi yang ada dalam Bali Compact, prioritas aksi energi berkelanjutan dan tiga isu prioritas yakni akses, teknologi, dan pendanaan.
Lebih lanjut, pria yang juga menjabat sebagai Chair of Energy Transitions Working Group (ETWG) itu juga menambahkan bahwa dengan adanya Bali Energy Transitions Roadmap maka akan mampu terus menjadi suatu bentuk inisiatif demi mendorong terjadinya kontinuitas dalam agenda global. Hal tersebut sangat berguna untuk lebih memperkuat adanya kerja sama internasional dan arsitektur energi.
Mengenai ‘Bali Compact’ sendiri, Yudo menjelaskan bahwa hal itu terlahir dari kesepakatan bersama dalam Forum Transisi Energi G20, yang mana akan menjadi warisan dari Indonesia kepada forum G20 secara keseluruhan karena sangat diharapkan bisa terus dibahas hingga pelaksanaan pertemuan internasional tersebut hingga tahun-tahun selanjutnya.
Bali Compact juga terlahir dari kesepakatan bersama seluruh anggota negara G20, dengan ambisi utamanya adalah bisa segera mencapai transisi energi yang adil, terjangkau dan inklusif bagi semua pihak. Pasalnya, memang isu mengenai energi ini menjadi salah satu isu strategis karena belakangan merupakan ancaman krisis dunia.
Maka dari itu, apabila transisi energi tidak segera dibahas dan dimunculkan solusi konkretnya, justru akan menimbulkan dampak-dampak buruk lain bagi keberlangsungan dunia. Namun, tetap saja solusi tersebut harus benar-benar bisa mewadahi konsep berkeadilan, dalam artian berarti tidak ada pembedaan akses kepada transisi energi bahkan untuk seluruh negara di dunia.
Terlebih, terdapat poin kedua yakni adanya asas terjangku, yang mana berarti dorongan untuk melakukan transisi energi ini harus bisa benar-benar dijangkau oleh seluruh negara di dunia tanpa terkecuali, bukan hanya menjadi akses untuk negara maju atau negara kaya belaka.
Selanjutnya untuk asas inlusif sendiri, maka dorongan untuk melakukan percepatan tarnsisi energi demi keberlanjutan global adalah seluruh prosesnya akan terus melibatkan banyak sekali negara, bahkan memang wajib hukumnya untuk negara-negara berkembang, nergara rentan hingga negara maju sekalipun duduk dalam satu wadah dan membahas akan transisi energi untuk kepentingan bersama tanpa adanya monopoli atau subordinasi dari pihak lainnya. Sehingga transisi energi benar-benar bisa dinikmati oleh seluruh pihak di dunia.
Untuk prinsipnya sendiri, Bali Compact memiliki sembilan buah prinsip, yang merupakan penawaran dari Indonesia dalam forum transisi energi G20 untuk didorong oleh dunia. Prinsip pertamanya yakni terus memperkuat kepercayaan dan kejelasan dalam perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi secara nasional.
Yudo Dwinanda melanjutkan bahwa prinsip selanjutnya adalah akan melakukan katalisasi investasi yang inklusif dan berkelanjutan dalam skala besar. Arah dari investasi inklusif tersebut adalah untuk bisa membuat sebuah sistem energi rendah emisi atau bisa dikatakan Net Zero Emissions.
Pentingnya inklusifitas terus ditekankan, karena memang harus ada kolaborasi yang kuat untuk bisa memobilisasi semua sumber pendanaan demi mencapai tujuan Agenda Sustainable Development Goals (SDGs) pada tahun 2030 mendatang dan juga mendukung Paris Agreement.
Beberapa poin mengenai transisi energi ini ditambahkan oleh Staf Ahli Perencanaan Strategis Kementerian ESDM tersebut, yakni mampu meningkatkan teknologi yang inovatif, terjangkau, cerdas, rendah emisi atau Net Zero Emissions serta membangun dan memperkuat ekosistem inovasi untuk mendorong penelitian, pengembangan, demonstrasi, diseminasi dan penerapannya.
Sementara itu, Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Susiwijono Moegiarso menyampaikan bahwa mesti sempat terjadi pembahasan yang cukup sulit mengenai transisi energi ini karena memang terdapat concern yang berbeda pada setiap negara terkait krisis yang terjadi, namun Sherpa Track G20 akhirnya mencapai kesepakatan dan juga transisi energi sendiri menjadi isu yang paling dinamis.
Dirinya menjelaskan bahwa saat ini krisis energi dikarenakan adanya inflasi energi yang bahkan sudah pada double digit. Bahkan, negara maju sekalipun, mereka tatkala hendak memasuki musim dingin seperti sekarang merasa sangat kesulitan dengan inflasi tinggi tersebut. Indonesia sendiri terus mengarahkan pembahasan ke next renewable energy, green energy, kemudian banyak ke transisi energi.
Dengan adanya krisis energi akibat inflasi yang tinggi, maka memang penting adanya sebuah solusi konkret, dimana hal tersebut ternyata mampu terlahir dari KTT G20 Indonesia dalam bentuk rumusan peta jalan transisi energi dengan banyak sekali pon-poin hingga prinsip untuk bisa memulihkan dunia secara bersama-sama.
)* Penulis adalah kontributor Persada Institute
(ABP/AA)