Suarapapuanews, Jakarta– Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang sedang dipersiapkan saat ini membawa misi pembaruan hukum di Indonesia salah satunya menghilangkan hukum warisan kolonial. Misi pembaharuan yang diusung dalam RKUHP terdiri dari lima poin yakni dekolonialisasi, demokratisasi, konsolidasi, harmonisasi, dan modernisasi.
Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham), Edward Omar Sharif Hiarij dalam kuliah umum bertema “Kumham Goes to Campus” di Universitas Nusa Cendana, Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT) mengemukakan RKUHP yang sedang dipersiapkan saat ini membawa lima misi pembaruan. Pertama adalah dekolonisasi, yakni upaya menghilangkan hukum kolonial yang terdapat dalam buku satu sebagai keunggulan RKUHP.
Kedua adalah misi demokratisasi. Undang-Undang Dasar 1945 menjamin kebebasan berbicara, berekspresi, dan berpendapat, namun kebebasan tersebut masih dibatasi. Wamenkumham mengatakan bahwa aturan yang tertulis dalam RKUHP saat ini semuanya telah disesuaikan dengan Keputusan Mahkamah Konstitusi.
Misi ketiga adalah harmonisasi dan sinkronisasi yang harus dilakukan terhadap sekitar 200 undang-undang sektoral di luar KUHP yang memuat berbagai ancaman pidana dengan berbagai model dan modifikasi sehingga tidak terjadi disparitas pidana.
Misi keempat adalah konsolidasi karena setelah perang dunia II, perkembangan zaman menimbulkan efek negatif berupa berbagai kejahatan dimensi baru yang tidak dapat ditampung dalam KUHP. Dengan demikian yang terjadi adalah dekodifikasi.
Politik hukum yang digunakan dalam RKUHP adalah rekodifikasi sebagai pengejawantahan dari misi konsolidasi, yaitu menghimpun berbagai ketentuan di luar KUHP dimasukkan KUHP. Tetapi, khusus kejahatan tertentu tidak menghapus atau tidak menegaskan undang-undang di luar KUHP.
Misi kelima adalah modernisasi yang berarti sudah berorientasi pada paradigma hukum pidana modern, yaitu keadilan korektif, keadilan restoratif, dan keadilan rehabilitative.
Sejalan dengan hal tersebut, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Indonesia (UI), Harkristuti Harkrisnowo menjelaskan lima misi RKUHP. Pertama, rekodifikasi terbuka dan terbatas. Sekitar 75-80% KUHP yang sekarang digunakan tetap dipertahankan akan tetapi ditambahkan pada bab terakhir yaitu bab 34, tetapi tindak pidana khusus yang diambil hanya core crimes saja, terbuka karena masih membuka untuk tindak pidana lain tetapi terbatas dengan serangkaian prasyarat KUHP yang termasuk tindak pidana khusus yaitu terorisme, pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat, narkotika, korupsi, dan money laundering.
Tuti menyatakan misi kedua yaitu demokratisasi. Ketiga, aktualisasi yaitu ketentuan yang mewadahi kondisi yang sedang terjadi saat ini. Misi keempat, modernisasi yang mengacu pada perkembangan dalam dunia internasional khususnya ketentuan yang sudah dirumuskan dalam Treaty Bodies. Dan yang terakhir yaitu harmonisasi agar KUHP tidak menyalip dan saling melengkapi satu sama lain.
Selain itu, Tuti juga menjelaskan tentang pedoman pemidanaan. Pertama, pemidanaan tidak dimaksudkan untuk merendahkan derajat manusia. Kedua, hakim wajib menegakkan hukum dan keadilan. Ketiga, jika terdapat pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan, hakim wajib mengutamakan keadilan.
Sementara itu, Dosen Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang (UNNES), Ali Masyhar menjelaskan hukum diposisikan tertinggal dengan fakta sosial pada ranah hukum tertulis, namun KUHP mengedepankan hukum living law, maka tidak ada hukum yang tertinggal dengan fakta sosial karena hukum pre-existence atau hidup bersama dengan masyarakat.
Selain itu, ada 6 alasan untuk perubahan KUHP yaitu alasan politik, sosiologis, filosofis, praktis, adaptif, dan sistematis. Ali menegaskan secara filosofis KUHP yang berlaku di Indonesia saat ini bukan dilahirkan dari bangsa Indonesia sehingga tidak selaras dengan jiwa Pancasila. Karena itu KUHP harus diubah sesuai filosofi Indonesia yaitu Pancasila.
Sementara Edward Omar mengungkapkan sejumlah alasan RKUHP harus segera diubah. Pertama, RKUHP saat ini merupakan warisan kolonial Belanda yang sudah berlaku 222 tahun dan sudah terlalu lama Indonesia memakai undang-undang tersebut. Padahal, KUHP saat ini dibuat pada zaman aliran klasik yang menggunakan hukum pidana sebagai sarana balas dendam atau lex talionis. Ia mengatakan bahwa saat ini orientasi hukum telah mengacu pada keadilan korektif, keadilan restoratif, dan keadilan rehabilitatif.
Alasan kedua, karena kebutuhan perkembangan zaman yang harus mulai menyesuaikan dengan kondisi era 5.0 menyambut tatanan dunia yang sudah berubah, namun belum diakomodasi dalam KUHP. Terakhir, pembaruan KUHP perlu dilakukan untuk menjamin kepastian hukum dimana perlunya satu terjemahan terkait KUHP yang pasti beredar di Indonesia. Hal ini karena masih adanya perbedaan penafsiran dari setiap pasal yang digunakan di ruang-ruang sidang bakan digunakan oleh para penegak hukum.
)* Penulis adalah kontributor Persada Institute
(DJA/AA)