Suarapapuanews, Jakarta– Penyusunan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) rupanya telah melewati beragam perdebatan di beberapa pasal yang dianggap krusial. Para praktisi, akademisi, politikus hingga kalangan akar rumput telah menjadi bagian dari perdebatan panjang tersebut. Di sisi lain, KUHP saat ini dianggap sudah usang karena tidak relevan, sehingga diperlukan RKUHP yang kelak akan menjadi warisan bagi masa depan bangsa.
Presiden RI Joko Widodo telah memerintahkan kepada para menteri dan kepala badan tertentu untuk terus menyosialisasikan kepada masyarakat tentang RKUHP terutama pasal-pasal yang dinilai berpotensi menimbulkan konflik. Tujuannya, agar KUHP yang dihasilkan betul-betul mewakili aspirasi masyarakat Indonesia meskipun diyakini tidak semuanya akan bisa tertampung.
Juru Bicara Sosialisasi RKUHP, Albert Aries menyatakan sebelum seorang hakim menjatuhkan putusan atau vonis kepada seorang terdakwa maka terdapat suatu pertimbangan, yaitu tujuan dan pedoman pemidanaan. Hal tersebut merupakan sesuatu yang baru karena sebelumnya tidak pernah ada dalam KUHP yang digunakan di ruang-ruang sidang selama ini.
Tujuan pemidanaan yang diatur dalam pasal 51 dan 52 RKUHP yang tengah disusun setidaknya memiliki lima target. Pertama, mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum. Kedua memasyarakatkan terpidana dengan pembinaan. Ketiga, menyelesaikan konflik yang ditimbulkan akibat tindak pidana. Keempat memulihkan keseimbanga, menumbuhkan rasa penyesalan, dan membebaskan rasa bersalah pada terpidana. Kelima adalah tujuan pemidanaan tidak dimaksudkan sebagai merendahkan harkat dan martabat manusia.
Selain itu, sebelum mengetok palu seorang hakim akan menggunakan pedoman pemidanaan yang diatur dalam Pasal 54 ayat (1). Dalam ketentuannya, hakim wajib menegakkan hukum dan keadilan. Namun, jika keduanya ada pertentangan, hakim wajib mengutamakan sisi keadilan. Pada pasal tersebut terdapat beberapa poin pertimbangan oleh hakim. Diantaranya adalah bentuk kesalahan pelaku, motif dan tujuan tindak pidana, sikap batin pelaku, tindak pidana dilakukan terencana atau tidak dan cara melakukan tindak pidana.
Perlu diketahui bahwa KUHP yang digunakan oleh aparat penegak hukum saat ini dibuat oleh Belanda pada tahun 1800 dan mulai diterapkan di Tanah Air pada tahun 1918. Kemudian pada tahun 1958 pemerintah Indonesia mulai melakukan pembaharuan yang kemudian dikenal dengan KUHP. Hal tersebut ditandai dengan berdirinya Lembaga Pembinaan Hukum Nasional (LPHN).
Dari perjalanan panjang tersebut, upaya pemerintah bersama DPR dalam mengesahkan dan melahirkan KUHP yang baru sesuai dengan nilai-nilai keindonesiaan bukanlah sesuatu yang datang secara tiba-tiba. Proses panjang selama berpuluh tahun tersebut juga melibatkan banyak masukan dari berbagai kalangan.
Perlunya KUHP baru untuk segera disahkan juga tidak lepas dari KUHP saat ini yang sudah tidak sesuai dengan kondisi terkini. Perkembangan zaman yang ditandai dimulai atau akan dimulainya era 5.0 mengharuskan tatanan atau aturan hukum juga harus menyesuaikan. Jika masih menggunakan atau bersikukuh pada KUHP yang lama, hal tersebut dinilai akan menimbulkan permasalahan-permasalahan baru terutama soal rasa keadilan. Sebagai contoh tentang ketidakpastian hukum untuk mengadili seseorang.
Albert mengatakan, bahwa KUHP merupakan cerminan paling jujur dari peradaban sebuah bangsa, tentang bagaimana memandang aturan hukum yang harus ditaati. Pengesahan RKUHP semata-mata untuk up to date disesuaikan dengan perkembangan zaman. Meskipun KUHP harus segera disahkan, diakuinya bahwa hal tersebut bukanlah perkara mudah layaknya membalikkan telapak tangan.
Sebagai gambaran dan perbandingan, Belanda yang hanya memiliki jumlah penduduk sekitar tujuh juta jiwa dan bersifat homogen, membutuhkan waktu 70 tahun untuk melahirkan KUHP.
Sementara Indonesia yang luasnya seperdelapan dunia ditambah faktor banyaknya etnis, banyak agama, serta kebudayaan yang beragam, maka waktu 64 tahun terakhir dalam memperjuangkan KUHP yang baru bisa dikatakan bukanlah sesuatu yang terlambat.
Dengan keberadaan Indonesia yang penuh dengan keberagaman tersebut maka menghasilkan KUHP yang baru diyakini tidak akan bisa sempurna seperti yang diharapkan semua pihak. Setidaknya hal tersebut ditandai dengan adanya pro dan kontra terhadap RKUHP yang saat ini masih digodok oleh pemerintah bersama DPR.
Meski demikian, para pemangku kepentingan perlu mencari solusi-solusi terbaik agar bisa mengakomodasi semua saran dan masukan dari masyarakat termasuk kalangan akar rumput sekalipun.
Berbagai masukan serta saran dan kritik tentu saja bisa dijadikan evaluasi atau pertimbangan oleh pemerintah saat melanjutkan pembahasan RKUHP bersama DPR. Sehingga panduan hukum yang akan dilahirkan dapat betul-betul mewarnai rasa keadilan dari Sabang sampai ke Merauke serta dapat menjadi warisan yang dapat dikenang oleh masyarakat di kemudian hari.
)* Penulis adalah kontributor Persada Institute
(ABP/AA)