Suarapapuanews, Jakarta– Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) sempat menuai polemik dan protes dari masyarakat. Hal ini disebabkan adanya ketidakpahaman masyarakat terkait sejumlah pasal dalam RKUHP. Pemerintah melakukan sosialisasi dan diskusi publik ke seluruh wilayah Indonesia untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat bahwa tidak ada pasal karet pada RKUHP.
RKUHP merupakan Undang-Undang yang menyangkut hajat semua belah pihak. Oleh karena itu, tidak heran jika masyarakat menuntut keterbukaan draf RKUHP. Sebelumnya, Anggota Komisi III DPR RI, Arsul Sani meminta agar semua pihak tidak menuduh pemerintah dan DPR RI bersikap tertutup karena draf RKUHP memang belum rampung. Draf tersebut masih dalam tahap penyempurnaan dan perbaikan atas draf RKUHP tahun 2019 sehingga belum siap untuk dipublikasikan secara resmi.
Namun, saat ini pemerintah dan DPR RI telah membuka kepada publik draf RUU KUHP di mana draf tersebut sudah dapat diakses secara bebas pada laman https://www.dpr.go.id/. Hal tersebut dikatakan Ketua Komisi Penelitian, Pendataan, dan Ratifikasi Dewan Pers, Ninik Rahayu. Ninik juga menambahkan bahwa dengan dibukanya draf tersebut, tidak adil jika masih ada narasi yang menyebutkan bahwa pemerintah tidak transparan terkait pembahasan RUU KUHP.
Berikut pasal-pasal yang diduga pasal karet RKUHP yang menjadi kontroversi:
Tindak pidana penyerangan harkat dan martabat Presiden dan Wakil Presiden pada Pasal 218 Ayat (1) RKUHP bersifat delik aduan dengan ancaman hukuman maksimal 3,5 tahun penjara. Kebebasan berpendapat menjadi unsur penting dalam berjalannya suatu negara demokrasi. Apabila kebebasan berpendapat dibungkam, maka makna demokrasi itu sendiri perlu dipertanyakan. Tanpa adanya demokrasi, kehidupan di Indonesia dapat sangat membahayakan dan rentan terjadi pemidanaan bagi siapa saja yang mengkritik kinerja pemerintah.
Wakil Menteri Hukum dan HAM, Edward Omar Sharif menjelaskan pemerintah tidak ingin membangkitkan kembali pasal penghinaan presiden yang pernah dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK) melalui putusan Nomor 031-022/PUU-IV/2006. Pasal dalam RKUHP ini adalah delik aduan, berbeda dengan pasal yang sudah dimatikan oleh MK yaitu delik biasa. Ditambah, pengaduan mengenai pasal inipun harus dilakukan langsung oleh Presiden maupun Wakil Presiden secara tertulis.
Banyak pihak yang mengkhawatirkan soal pasal ini karena dapat dipidanakan paling lama 1 (satu) tahun penjara atau pidana denda paling banyak Kategori II. Masyarakat menilai pasal ini membatasi hak privat warga negara. Padahal, pasal perzinahan berlandaskan pada moralitas sehingga pemaknaannya seringkali subjektif. Menurut Aktivis Lintas Feminis Jakarta, Naila Rizqi Zakiah pasal perzinahan merupakan persoalan moral yang tidak bisa dilihat secara hitam dan putih. Perbuatan zina yang dilakukanpun tidak lantas membuat seseorang dapat dipidana karena melanggar norma agama, meskipun semua agama melarang perzinahan. Pasal ini jelas melanggar hak atas privasi dan hak asasi manusia.
Juru Bicara Tim Sosialisasi RUU KUHP, Albert Aries menjelaskan bahwa tidak benar pasangan di luar nikah yang melakukan check in di hotel bisa dipidanakan. Lagipula, pasal perzinahan di RKUHP yang dimaksud adalah delik aduan, jadi aparat tidak bisa sembarang gerebek. Delik aduan di RKUHP yaitu dapat diadukan oleh suami/istri bagi mereka yang terikat perkawinan atau orang tua/anak bagi mereka yang tidak terikat perkawinan. Maka, tidak akan ada proses hukum tanpa adanya pengaduan dari yang berhak dan dirugikan secara langsung.
Pasal ini dikritik berbagai pihak karena dinilai overkriminalisasi dan mengancam program Keluarga Berencana (KB). Akibatnya, penyuluhan terhadap kesehatan reproduksi dan penularan infeksi HIV/AIDS menjadi terhambat. Dalam pasal 414 menyebutkan setiap orang yang secara terang-terangan mempertunjukan, menawarkan, menyiarkan tulisa, atau menunjukan alat kontrasepsi kepada anak diancam pidana denda. Sementara, dalam pasal 415 menyebutkan bagi setiap orang yang tanpa hak secara terang-terangan menunjukan, menawarkan, menyiarkan tulisan alat penggugur kandungan dapat dipidana paling lama 6 (enam) bulan penjara.
Nyatanya, perbuatan yang dimaksud dalam Pasal 414 dan 415 tersebut tidak dipidana jika dilakukan oleh petugas berwenang dalam rangka pelaksanaan Keluarga Berencana (KB), pencegahan penyakit infeksi menular seksual, atau untuk kepentingan pendidikan dan penyuluhan kesehatan.
Pasal 302 berbunyi, setiap orang di muka umum yang melakukan perbuatan yang bersifat permusuhan, menyatakan kebencian, atau menghasut untuk melakukan permusuhan, kekerasan, atau diskriminasi terhadap agama, kepercayaan orang lain, golongan, atau kelompok atas dasar agama atau kepercayaan di Indonesia dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima tahun) atau pidana denda paling banyak Kategori V. Sementara ancaman hukuman bagi orang yang mengajak orang lain untuk tidak beragama yaitu pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun.
Masyarakat tidak perlu khawatir karena pasal penodaan agama ini dipastikan tidak akan menjadi pasal karet. Juru Bicara Tim Sosialisasi RKUHP, Albert Aries menyebut pasal tersebut sudah disesuaikan dengan Konvensi Internasional Hak Sipil Politik (ICCPR). Aries menambahkan maksud dari pasal ini adalah perbuatan yang menimbulkan permusuhan. Oleh sebab itu, perbuatan yang bersifat objektif, sesuai ilmiah, dan disertai usaha menghindar dari penghinaan maka tidak akan terkena sanksi pidana.
Di sisi lain, Aries juga menanggapi isu potensi tumpang tindih dari Pasal Hukum Adat (Living Law) dalam RKUHP. Pasal Hukum Adat yang diakui negara dan berlaku sepanjang delik adat tersebut berlaku. Jadi, tidak akan tumpang tindih karena memang pengaturannya tidak ada dalam KUHP.
Hingga saat ini seluruh masyarakat masih memiliki waktu untuk menyampaikan aspirasi terkait RUU KUHP karena pembahasan RUU KUHP tersebut harus melibatkan banyak pihak dalam masyarakat serta diikuti dengan memberikan respon atas setiap aspirasi yang diterima oleh DPR RI. Di samping itu, pemerintah tetap melakukan sosialisasi terhadap pasal-pasal krusial dalam RUKHP agar proses pengesahan RUKHP dapat diterima dan tidak mendapatkan penolakan dari publik. Sosialisasi ini juga dapat membuat masyarakat tidak memaknai pasal tersebut sebagai pasal karet.
*)Penulis adalah Pakar di Bidang Hukum Persada Institut
(RB/AA)