Suarapapuanews, Jakarta– Radikalisme sudah menjamur di media sosial dan wajib diwaspadai, karena kelompok radikal dan teroris menyasar anak-anak muda. Mereka sengaja mencari kader-kader baru di sana dan para orang tua harus lebih hati-hati. Jangan sampai generasi muda rusak gara-gara ulah kelompok radikal.
Pemerintah telah berusaha keras menumpas radikalisme karena bisa menghancurkan bangsa. Ketika Pancasila dan demokrasi diganti dengan khilafah, jangan sampai Indonesia kacau-balau seperti Suriah. Khilafah bukanlah solusi karena tidak cocok dengan kondisi masyarakat yang pluralis dan ber-bhinneka tunggal ika, karena hanya bisa diterapkan di negara-negara monarki di Timur Tengah.
Radikalisme di Indonesia masih ada karena kelompok radikal bekerja secara gerilya, dan mereka menyalahgunakan media sosial untuk eksis dan menambah kader baru. Kebanyakan yang disasar adalah anak-anak muda karena relatif lebih mudah dipengaruhi dan ‘dicuci’ otaknya. Oleh karena itu masyarakat wajib untuk mewaspadainya, agar generasi muda tidak diracuni oleh radikalisme.
Anggota Komisi I DPR RI Taufiq R Abdullah menyatakan bahwa wajib ada peningkatan kewaspadaan terhadap penyebaran paham radikal di media sosial. Para pendukung radikalisme saat ini sangat paham, jika media sosial menjadi media paling efektif untuk mempengaruhi generasi muda.
Taufiq menambahkan, penyebaran radikalisme di media sosial dilakukan sangat masif dan pengaruhnya luar biasa, terutama bagi anak-anak muda. Mereka (anak SMP dan SMA) sangat rentan karena sedang masa pencarian jati diri.
Dalam artian, radikalisme harus makin diwaspadai karena anak muda saat ini banyak yang memiliki HP sendiri dan aktif di media sosial. Jangan sampai mereka salah arah dan terpengaruh oleh radikalisme karena terpapar oleh beragam konten radikal yang sengaja disebarkan di media sosial.
Konten-konten radikal sangat banyak di media sosial, terutama di Instagram. Bahkan ada tanda pagar (hashtag) khusus yang dibuat oleh mereka, tujuannya untuk memudahkan pencarian. Hal ini harus diwaspadai karena bisa meracuni pikiran anak-anak muda yang masih agak labil.
Konten radikal menjamur karena saat ini terjadi kebebasan yang kebablasan, sehingga takut Indonesia bergeser dari demokrasi ke liberal. Ketika gerbang reformasi dibuka tahun 1998, masyarakat euforia dan bebas berpendapat, karena selama 32 tahun dibungkam oleh Orde Baru. Namun kebebasan ini berubah jadi mengerikan karena terlalu bebas dalam mengungkapkan ujaran kebencian dan radikalisme di media sosial.
Jangan sampai internet berubah fungsi, dari yang awalnya untuk menambah ilmu pengetahuan dan networking bisnis, malah menjadi ajang penyebaran hoaks dan konten radikalisme. Ketika anak-anak muda nyaris kecanduan internet dan membuka media sosial tiap hari, maka mereka harus dibekali dengan literasi digital. Tujuannya agar selamat dari bujukan kelompok radikal.
Sementara itu, Analis Utama Intelijen Detasemen Khusus 88 (Densus 88), Brigjen Ibnu Suhaendra, menyatakan media sosial menjadi sarana yang subur bagi penyebaran radikalisme intoleransi, dan terorisme. Masyarakat harus lebih mewaspadainya, apalagi banyak penggunanya adalah anak-anak muda. Pengaruhnya sangat mengerikan karena orang yang terpengaruh radikalisme, mau saja dijadikan korban bom pengantin.
Generasi muda adalah calon pemimpin di masa depan. Jangan sampai mereka jadi rusak gara-gara diracuni pikirannya oleh kelompok radikal. Anak-anak muda seharusnya diarahkan agar memiliki banyak skill yang berguna. Jangan dibiarkan kecanduan Instagram dan Twitter lalu kenal dengan kelompok radikal, dan berubah drastis menjadi radikal dan teroris.
Anak-anak muda ditarget oleh kelompok radikal karena mereka memiliki tenaga dan semangat, serta kreativitas. Yang ditakutkan adalah ketika kader radikal yang masih muda, menyalahgunakan riuhnya media sosial untuk menguntungkan kelompok radikal. Seperti pada seorang mahasiswa di Malang yang radikal dan berkedok meminta sumbangan di media sosial, padahal uang itu untuk keperluan radikalisme.
Oleh karena itu para orang tua harus lebih mengawasi anaknya agar tidak terjerumus radikalisme, bercita-cita berjihad, serta mengorbankan nyawanya. Anak-anak muda wajib dirangkul dengan hangat, karena jika mereka merasa nyaman akan terbuka kepada ibu dan ayahnya. Jangan dibiarkan saja karena mereka akan merasa diabaikan dan tidak dicintai oleh orang tuanya.
Anak-anak muda yang berasal dari keluarga harmonis akan bercerita apa saja, dan tidak mencari pelarian di media sosial. Kebanyakan kader muda radikal berasal dari keluarga yang berantakan dan kepribadiannya sangat tertutup. Oleh karena itu harus dilakukan pencegahan, agar generasi muda tidak dirusak oleh radikalisme dan terorisme.
Masyarakat harus mewaspadai radikalisme di media sosial karena korbannya adalah anak-anak muda yang masih lugu. Mereka diracuni otaknya lalu dijadikan kader baru, dan lama-lama diarahkan untuk jadi korban bom pengantin. Jangan sampai generasi muda rusak masa depannya gara-gara kelompok radikal. Oleh karena itu konten radikal harus dilaporkan ke polisi siber dan orang tua wajiib merangkul anaknya, agar tidak mencari pelarian di internet dan dipengaruhi oleh kelompok radikal.
)* Penulis adalah kontributor Nusa Bangsa Intitute
(AF/AA)