Suarapapuanews, Jakarta– Pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) sangat mampu untuk mewadahi basis hukum dengan paradigma memperbaiki orang dan bukanlah sekedar melakukan balas dendam, karena fokus utamanya memang menitikberatkan pada keadilan yang kolektif, restoratif dan rehabilitatif.
Tatkala menghadiri Mudzakarah Hukum Nasional dan Hukum Islam di Gedung MUI, Jakarta Pusat, anggota Komisi III DPR RI, Arsul Sani menyatakan bahwa sampai saat ini terdapat tiga buah hal yang menjadi dasar penting mengenai pembahasan serta penetapan Rancangan Undang-Undang Kitab Hukum Pidana (RKUHP).
Pembahasan dan penetapan RKUHP tersebut dikarenakan memang sejauh ini Indonesia sendiri masih terus saja menggunakan KUHP lama sebagai sistem hukum pidananya, khususnya mengenai pasal-pasal sektoral, yang mana hal tersebut merupakan warisan dari penjajahan Belanda. Maka dari itu pada tahun 2015 lalu, pihak DPR RI kembali melakukan inisiasi lagi mengenai RKUHP untuk bisa segera menggantikan posisi KUHP lama.
Sebagaimana pembahasan yang telah dilakukan oleh DPR RI, Arsul Sani mengaku terdapat tiga poin penting. Pertama adalah mengenai politik hukum penalisasi, yang mana di dalamnya adalah berkaitan dengan pembahasan apakah sebuah perbuatan bisa masuk ke dalam tindak pidana atau tidak.
Termasuk salah satu hal yang diperdebatkan dalam pembahasan mengenai politik hukum penalisasi tersebut adalah adanya penyebaran ideologi Marxisme dan Komunisme. Pihak DPR RI terus berdiskusi apakah penyebaran ideologi tersebut bisa masuk ke dalam ranah tindak pidana atau tidak dengan pertimbangan yang sangat panjang.
Kemudian poin kedua adalah mengenai substansi pengaturan. Pria yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua DPR RI itu menyatakan bahwa pembahasan terkait substansi ini di dalamnya meliputi sikap Indonesia terkait dengan pemidanaan hukuman mati. Apakah nantinya Indonesia benar-benar akan mengikuti negara-negara demokrasi lainnya dengan menghapus secara total hukuman mati atau tidak.
Sebenarnya mengenai pidana hukuman mati ini, beberapa negara sahabat telah memberikan usulan mereka bahwa sebaiknya Indonesia benar-benar menghapuskan secara total saja hukuman mati. Mendengar hal tersebut, nyatanya pemerintah dan DPR RI menegaskan bahwa masih akan mempertahankan beberapa pidana hukuman mati. Meski menegaskan masih akan menerapkan hukuman mati untuk kasus tertentu, namun Arsul menyatakan pula bahwa hal itu tidak lagi menjadi pidana pokok.
Tatkala hukuman mati tidak menjadi pidana pokok, berarti posisinya menjadi pidana khusus, yang mana keputusan tersebut baru bisa diambil oleh hakim secara alternatif, dalam artian apabila memang sudah tidak ada jalan keluar lain menurut keputusan hakim. Penerapannya adalah ketika terdapat sebuah kasus yang di dalamnya terdapat pasal mengenai hukuman mati, sang hakim tidak akan langsung menjatuhkan hukuman mati tersebut melainkan terdakwa akan menjalani terlebih dahulu hukuman penjara selama 10 tahun.
Lebih lanjut, Arsul Sani menerangkan, apabila dalam 10 tahun masa penjara itu nyatanya sang terdakwa bisa berbuat baik, dirinya menyatakan diri akan tobat dan menjalankan seluruh kehidupannya sebagai warga binaan dengan baik, maka bukan tidak mungkin hukumannya akan berubah dari yang awalnya hukuman mati menjadi hukuman seumur hidup.
Sementara itu, Wakil Menteri Hukum dan HAM RI, Eddy Omar Sharif Hiariej selaku narasumber menjelaskan bahwa pembentukan RUU KUHP, telah melibatkan partisipasi berbagai pihak sepeti Lembaga Swadaya Masyarakat, tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat/budaya, hingga para pakar di bidang hukum. Pelibatan masyarakat tersebut dinilai menjadi hal yang sangat penting karena nantinya RKUHP ini juga akan mengatur banyak sekali aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Selain itu, dengan tegas dirinya juga membantah isu yang seolah menyatakan bahwa RUU KUHP tiba-tiba muncul begitu saja tanpa melalui proses yang prosedural.
Menyinggung adanya upaya untuk melakukan dekolonisasi melalui pengesahan RKUHP dengan mengganti KUHP lama warisan Belanda, pria yang juga menjadi Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) tersebut menyatakan RKUHP nantinya akan mengubah paradigma hukum pidana yang saat zaman kolonial tujuannya hanya untuk menghukum dan balas dendam (retributive).
Menurutnya, KUHP yang masih berlaku di Indonesia saat ini merupakan produk kolonial. Sehingga, paradigma yang digunakan masih menitikberatkan pada kepentingan individu dan pidana penjara sebagai pidana pokok sekaligus sebagai pidana utama. Namun RUU KUHP berfokus pada Keadilan kolektif, restoratif dan rehabilitatif.
Eddy juga menyinggung terkait standar pemidanaan. Dimana pada KUHP saat ini, dalam hal pemidanaan diberikan kewenangan penuh pada hakim. Berbeda dengan RKUHP diberikan pagar-pagar agar hakim tidak dapat sembarangan dalam memutus suatu perkara. Selain itu, dalam RKUHP pidana penjara bukan pidana utama. Hakim wajib memberikan pidana yang lebih ringan seperti pidana pengawasan dan pidana kerja sosial.
Maka sudah jelas bahwa di dalam RKUHP yang disusun oleh pemerintah dan DPR RI tersebut sangatlah mempertimbangkan konsep pemahaman dan perubahan, pemidanaan namun sama sekali bukan sebuah hukum dengan paradigma balas dendam, namun justru akan berusaha untuk terus memperbaiki orang.
)* Penulis adalah kontributor Ruang Baca Nusantara
(PS/AA)