Suarapapuanews, Jakarta– Terorisme dan radikalisme adalah pemikiran yang berbahaya. Untuk mencegah radikalisme, maka masyarakat wajib untuk menolak narasi intoleran, terutama di media sosial.
Dalam beberapa tahun ini, media sosial (medsos) ramai sekali dan warga negara Indonesia menjadi 5 besar pengguna medsos sedunia. Namun sayangnya ada segelintir oknum yang menyalahgunakan medsos, dan membuatnya sebagai tempat mengumpat, hate speech (ujaran kebencian), bahkan menyebarkan intoleranisme di Indonesia. Disinyalir pelakunya adalah anggota kelompok radikal, yang selalu membenci pemerintah.
Radikalisme menjadi musuh bersama karena mempengaruhi masyarakat untuk ikut membenci pemerintah, dan mengajak mereka untuk membentuk negara khilafah. Oleh karena itu, pemerintah terus mensosialisasikan ajakan untuk menolak radikalisme dan segala sesuatu yang dilakukan oleh kelompok radikal. Tidak hanya pengeboman, tetapi juga perbuatan yang intoleran dan ujaran kebencian.
Ketua Cabang Nahdatul Ulama Kota Palangkaraya Ustad Muhammad Syahrun, menyatakan bahwa intoleransi dan radikalisme merugikan berbagai sendi kehidupan. PCNU mengajak masyarakat untuk tidak terjerumus dalam radikalisme. Warga seharusnya bersatu-padu dan berkomitmen untuk mencegah radikalisme. Mereka juga jangan mengikuti akun media sosial yang mengarah ke radikalisme, intoleran, dan ujaran kebencian.
Dalam artian, para tokoh agama sangat miris karena radikalisme mempengaruhi masyarakat, terutama di media sosial. Caranya dengan menyebarkan hoaks dan propaganda, sehingga banyak yang mempercayainya dan pada akhirnya ikut-ikutan ingin membangun negara khilafah. Padahal konsep tersebut tidak sesuai dengan demokrasi Pancasila.
Selain itu, konten-konten di media sosial jangan 100% dipercaya karena bisa jadi dibuat oleh kelompok radikal, sebagai propaganda agar masyarakat mempercayai mereka. Misalnya konten yang menyinggung tentang unsur intoleransi dan mengajak banyak orang untuk mengadakan sweeping. Padahal sweeping sembarangan tidak boleh dilakukan karena hanya boleh diadakan oleh pihak berwajib.
Waspada juga status atau tweet yang mengandung ujaran kebencian. Jika ada yang melakukannya maka tegur baik-baik, karena ia bisa mengajak banyak orang untuk turut berkata kasar. Jangan pula terpengaruh oleh hate speech tersebut karena sengaja dibuat agar memantik emosi netizen, agar lebih banyak orang yang memberontak dan akhirnya mau bekerja sama untuk membentuk negara khilafah.
Media sosial sengaja digunakan oleh kelompok radikal, sebagai tempat untuk ‘berkampanye’, baik mengenai radikalisme maupun intoleransi. Mereka paham bahwa netizen Indonesia suka membuka media sosial setiap hari. Saat buka akun media sosial maka otak dalam keadaan rileks sehingga mudah dipengaruhi. Oleh karena itu masyarakat dihimbau untuk berhati-hati di media sosial dan jangan mudah percaya akan suatu konten.
Sementara itu, Ketua Umum Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Palangkaraya, Ustad Sofyan Suri, menyatakan bahwa masyarakat wajib menolak radikalisme dan intoleransi, karena bisa membahayakan keamanan daerah. Dalam ajaran agama, tidak ada yang namanya radikalisme. Oleh karena itu, beliau sekali lagi mengimbau masyarakat untuk menolak radikalisme, intoleransi, dan ujaran kebencian.
Ustad Sofyan melanjutkan, ajaran agama seharusnya membawa kesejukan dan perdamaian. Dalam artian, yang dilakukan oleh kelompok radikal salah, karena mereka mengaku taat tapi mengajarkan peperangan, pengeboman, dan melakukan ujaran kebencian yang terus-menerus. Penyebabnya karena mereka merasa gerakannya untuk membentuk negara khilafah terus dihalangi.
Masyarakat wajib untuk mewaspadai radikalisme dan intoleransi karena berbahaya bagi perdamaian di Indonesia. Sejak masa pra kemerdekaan, bahkan masih era kerajaan, Indonesia sudah terdiri dari berbagai suku dan latar belakang.
Perbedaan ini tidak dipertentangkan, tetapi malah dibesar-besarkan oleh kelompok radikal. Mereka wajib ditumpas karena tidak bisa menerima perbedaan, padahal pernduduk Indonesia sudah ber-Bhinneka Tunggal Ika sejak lama. Kelompok radikal yang baru masuk ke Indonesia pasca Orde Baru tumbang (tahun 1999) seharusnya mempelajari sejarah Indonesia, sebelum seenaknya ingin membangun negara khilafah.
Negeri ini merupakan negeri yang pluralis dan ada 6 keyakinan yang diakui oleh negara. Oleh karena itu khilafah ditentang karena tidak bisa menerima pluralisme. Jangan sampai masyarakat yang masih awam malah ikut-ikutan terpengaruh oleh kelompok radikal, dan harus waspada karena mereka menyebar secara diam-diam.
Masyarakat wajib mewaspadai ujaran kebencian yang ada di mana saja, mulai dari status WA, sampai di media sosial. Jangan sampai terpengaruh dan berkata-kata kasar juga, karena bisa dilaporkan orang lain dengan Pasal perbuatan tidak menyenangkan. Mereka juga bisa terjerat UU ITE, oleh karena itu wajib untuk jaga omongan dan jangan terpengaruh oleh hasutan kelompok radikal.
Radikalisme dan terorisme adalah musuh besar negara. Kelompok radikal melakukan manuver, terutama di media sosial, dengan melakukan hate speech dan propaganda. Masyarakat diminta untuk tidak terpengaruh oleh hoaks dan propaganda, karena yang diajarkan oleh kelompok radikal jelas salah besar.
)* Penulis adalah kontributor Pertiwi Institute
(AF/AA)