Suarapapuanews, Jakarta– Paham radikal telah terbukti merugikan bangsa dan negara, perkembangan paham radikal juga menyebar secara masif ke berbagai elemen masyarakat bahkan sampai pada ranah akademis.
Dalam menanggulangi paham radikal, tentu saja masyarakat perlu bersatu untuk melemahkan paham radikal. Karena jika masyarakat tidak bersatu, maka paham radikal akan semakin kuat tumbuh di masyarakat.
Paham radikal tentu saja tidak sesuai dengan ideologi pancasila maupun ajaran agama manapun, sehingga setiap pemikiran radikalisme haruslah dihilangkan.
Seperti paham tentang bom bunuh diri di mana pelakunya akan mendapatkan surga, tentu saja hal seperti itu tidak sesuai dengan ajaran agama apapun, apalagi pembunuhan tersebut merupakan dosa yang besar. Oleh sebab itu, pelemahan serta pencegahan radikalisme harus terus dilakukan dalam rangka menjaga NKRI agar tetap rukun dan harmonis.
Maraknya konten propaganda paham radikal yang secara masif muncul di media sosial saat ini, menjadikan generasi muda sebagai objek yang harus mendapatkan perhatian secara serius dalam pencegahan penyebaran paham radikal.
Jika dilihat dari pemahaman agama, gerakan radikalisme agama dapat dimaknai sebagai gerakan berpandangan kolot dan jumud serta kaku aturan, menggunakan kekerasan atau memaksakan pendapat tentang pandangan keagamaan, serta menganggap hanya pemahaman agamanya saja yang benar dan paling sesuai Kitab suci.
Ketua Umum Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Palangka Raya, Kalimantan Tengah, Sofyan Sori menuturkan, adanya radikalisme disebabkan karena ketidakpahaman dalam Islam, apalagi Muhammadiyah yang menyongsong semangat berkemajuan. Maka dari itu masyarakat didaerah setempat harus menolak munculnya paham radikalisme, intoleran dan terorisme ataupun ujaran kebencian yang dapat mengacaukan keamanan dan ketertiban dalam bermasyarakat.
Menurut Sofyan, munculnya radikal tersebut di tengah masyarakat merupakan sebuah kesempitan atau ketidakpahaman, mengaku Islam tetapi belum Islam.
Dulu kita sempat mendengar nama NII (Negara Islam Indonesia), di mana kelompok tersebut kerap melakukan ‘cuci otak’ dalam perekrutannya. Hal ini membuat warga resah, apalagi target yang direkrut saat itu adalah Mahasiswa dari berbagai kampus.
Perlu kita ketahui bahwa upaya cuci otak jelas bertentangan dengan norma dan ajaran Islam. Karenanya, peran pemuka agama dan pemerintah untuk mengoptimalkan counter isu dengan memberikan pelajaran akidah dan pendalaman ajaran agama yang anti radikal. Gerakan radikalisme di Indonesia merupakan bahaya laten yang dapat mengancam stabilitas keamanan. Utamanya gerakan radikalisme berbasis agama.
Berbagai propaganda tentang paham radikal masih terlihat di beberapa tempat, seperti perguruan tinggi, rumah ibadah, organisasi masyarakat dan bahkan dalam lingkup pemerintah pun sekarang sudah memasuki wilayahnya.
Bahkan ada sekelompok masyarakat yang secara terang-terangan menolak demokrasi di Indonesia, hal ini tentu saja akan menjadi bahaya besar apabila tidak ditindak secara serius. Padahal Pancasila sudah final dan tidak bisa ditawar lagi, menolak demokrasi tentu sama saja dengan menolak adanya pancasila.
Aktualisasi Pancasila adalah cara untuk memerangi radikalisme khususnya nilai ketuhanan. Setiap orang meyakini Tuhannya pasti akan mencinta sesama dan memperlakukan sesama sebagai saudara bukan lantas menyakiti hanya karena perbedaan pemahaman. Dengan demikian, belajar Agama bukan berarti membuat seseorang menganggap Pancasila itu thagut, atau membuatnya anti menyanyikan lagu Indonesia Raya.
Penguatan nilai-nilai kebangsaan haruslah ditanamkan baik di lingkungan sekolah maupun universitas. Jangan sampai lembaga pendidikan yang melahirkan insan intelektual lantas dicekoki dengan paham radikal yang dapat merongrong kebhinekaan.
Padahal kebhinekaan di Indonesia merupakan sunnatullah yang harus disyukuri, berbeda agama, berbeda suku tidak lantas membuat masyarakat di Indonesia saling bermusuhan.
Sebelumnya, Wakil Presiden RI menghimbau agar umat bersatu untuk memberantas paham-paham radikal sehingga nantinya radikalisme tidak menjadi kekuatan besar di Indonesia. Salah satu caranya yaitu dengan menjadikan konsep Islam moderat sebagai arus utama.
Meski pemerintah telah membubarkan ormas radikal seperti HTI, namun residu ideologi mereka masih ada hingga sekarang. Mereka pun menyusup dalam beragam aksi unjuk rasa dengan beragam narasi yang selalu menyudutkan pemerintah.
Sebenarnya penganut paham radikal di Indonesia jumlahnya sangat sedikit. Selain itu, paham khilafah juga tidak laku di Indonesia. Akan tetapi, pertumbuhan paham ini sudah menjadi sangat luas penyebarannya, dalam hal ini pemerintah jelas tidak boleh lengah karena paham radikal bisa semakin luas jika upaya deradikalisasi tidak dilakukan.
Selain itu penganut paham radikal juga menggunakan media sosial untuk menyebarkan paham sesatnya. Di sinilah mereka mulai meracuni siapapun yang penasaran dengan paham yang dapat menyesatkan pikiran. Melalui pengajian, konten media sosial dan majalah ataupun leaflet yang ditinggal di berbagai rumah ibadah.
Radikalisme tidak boleh tumbuh di Indonesia, pembiaran terhadap radikalisme merupakan hal yang menyakitkan bagi para pejuang yang telah berusaha menyatukan Indonesia yang sudah bhineka sejak dulu, sehingga masyarakat perlu bersatu dalam melemahkan paham radikal di Indonesia.
)* Penulis adalah kontributor Pertiwi Institute
(AF/AA)