Suarapapuanews, Jakarta– Kelompok separatis dan teroris (KST) menyerang warga Papua dan tega melukai orang asli Papua (OAP). Padahal yang terluka adalah saudara sesukunya sendiri, tetapi mereka tidak pandang bulu. Kekejaman KST harus dihentikan karena jangan sampai masyarakat di Bumi Cenderawasih yang jadi korban.
Salah satu permasalahan di Papua adalah keberadaan KST yang meneror masyarakat dan menuntut perpisahan. Padahal sudah jelas bahwa Papua adalah provinsi resmi di Indonesia, tetapi mereka ngotot ingin mendirikan Republik Federal Papua Barat. Ketika keinginannya tak pernah dikabulkan, maka mereka marah dan meneror warga serta melakukan tindak kekerasan.
KST melakukan penyerangan pada bulan Juli 2022 lalu di Kabupaten Nduga dan menyebabkan 10 korban. Salah satu yang meninggal dunia adalah seorang pendeta. KST begitu tega melukai orang asli Papua, apalagi pendeta seharusnya dihormati tetapi malah ditembak dengan kejam. Teror KST begitu kejam karena telah membunuh saudara sesukunya sendiri.
Selain itu, KST juga melakukan pembakaran rumah warga di Kabupaten Painai pada bulan Maret 2022 lalu. Peristiwa ini tentu melukai hati warga Papua karena mereka kehilangan tempat tinggal. Tindakan KST sudah melebihi batas karena tega sekali membakar rumah yang jadi tempat berteduh.
Ketika diadakan penelusuran maka ada beberapa motif mengapa KST tega melukai sesama warga Papua. Pertama, motifnya adalah ekonomi, karena mereka merampok toko terlebih dahulu baru melakukan penyerangan. Bisa jadi mereka kelaparan saat berada di dalam hutan dan bahan makanannya sudah habis.
Kedua, anggota KST tidak suka warga Papua bersikap nasionalis dan malah pro Indonesia. Masyarakat Papua memang lebih memilih untuk mengibarkan bendera merah putih daripada bendera bintang kejora (yang jadi lambang kemerdekaan Papua). Jadilah KST melakukan penyerangan karena merasa kesal terhadap warga sipil di Bumi Cendrawasih.
Sepanjang Januari hingga Juli 2022, sudah ada lebih dari 20 orang korban kekerasan yang dilakukan KST, dan rata-rata adalah warga sipil. Saat ini, saatnya menghentikan kekejaman mereka agar Papua aman dari pemberontakan manapun. Jangan sampai warga asli Papua jadi takut untuk beraktivitas dan mencari nafkah, gara-gara ulah KST.
Oleh karena itu, pemberantasan KST akan lebih dimasifkan. Penyebabnya karena mereka sudah terlalu kejam dengan melukai warga Papua yang merupakan penduduk asli. Bagaimana bisa mereka melukai sesama warga Papua? Sungguh mengherankan dan tidak berperikemanusiaan. Apalagi warga yang jadi korban adalah seorang pendeta yang seharusnya dijadikan teladan.
Untuk membasmi KST maka caranya dengan mengubah nama dari Satgas Nemangkawi jadi Satgas Damai Cartenz. Satgas yang bernama ‘damai’ bukan berarti dengan cara damai dan KST dibiarkan saja. Namun untuk meraih perdamaian, maka butuh kecepatan dan ketangkasan dalam penangkapan KST.
Penangkapan diadakan sampai ke pedalaman Papua karena markas KST yang tersembunyi. Jika dikejar sampai ke dalam markas maka optimis akan lebih banyak anggotanya yang tertangkap. Jika sudah ketahuan markasnya di mana pasti terjadi adu pelor dan ini diperbolehkan, karena situasinya adalah do or die. Penggunaan senpi di sini untuk melindungi diri dan mempermudah penangkapan KST.
Penggunaan senpi saat berkontak dengan KST memang diperbolehkan karena sesuai dengan standar penangkapan. Tidak ada yang namanya pelanggaran hak asasi manusia (HAM) ketika KST ditangkap, karena mereka sudah melukai terlalu banyak warga asli Papua. Jangan ada yang membesar-besarkan masalah HAM karena justru KST melanggar HAM dengan membunuh masyarakat Papua seenaknya sendiri.
KST harus ditangkap sebagai tindakan preventif karena mereka terlalu sering melukai masyarakat Papua. Jangan sampai dibiarkan saja karena bahaya, nanti warga sipil yang jadi korban. Warga sipil jelas tak punya senjata untuk melindungi diri dari serangan, oleh karena itu KST harus diberantas agar rakyat aman dari ancaman dan gangguan kelompok pemberontak ini.
Selain penangkapan, aparat juga melakukan pengamanan yang lebih intensif. Tujuannya tentu untuk mengamankan masyarakat dari serangan KST. Pengamanan bisa dilakukan dengan mengenakan pakaian preman (alias penyamaran jadi warga sipil biasa). Warga Papua sendiri tidak takut, justru mereka berterima kasih karena merasa diperhatikan.
Untuk mencegah serangan selanjutnya maka dilakukan pencegahan juga di dunia maya, dan polisi siber melakukan patroli untuk memberantas hoaks dan propaganda. Perang juga dilakukan di media sosial oleh KST, dan mereka sengaja melakukannya untuk mempengaruhi warga sipil. Oleh karena itu akun-akun media sosial KST harus diberantas agar tidak menyesatkan banyak orang.
KST tega sekali melukai orang asli Papua yang notabene saudara sesukunya sendiri. Mereka dengan kejam menyerang dan membunuh warga di Bumi Cendrawasih. Oleh karena itu, KST harus diberantas agar tidak menimbulkan korban selanjutnya. Satgas Damai Cartenz bekerja keras dalam melakukan penangkapan, agar KST dapat ditumpas.
)* Penulis adalah kontributor Pertiwi Institute
(SK/AA)