Suarapapuanews, Jakarta– Pemerintah saat ini sedang mengkaji potensi penyesuaian harga BBM bersubsidi dan dampaknya terhadap ekonomi dan inflasi seiring dengan menipisnya kuota BBM subsidi yang diperkirakan berakhir di bulan September atau Oktober. Hal tersebut dilakukan karena subsidi BBM merupakan bensin atau bahan bakar minyak yang diberikan subsidi oleh Pemerintah menggunakan dana Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN).
Toleransi berlebihan terhadap pemakai BBM bersubsidi menyebabkan persentase terbesar dari alokasi atau kuota bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi tidak tepat sasaran. Toleransi berlebihan seperti itu mestinya tak boleh berulang. Demi APBN yang sehat, mekanisme penyaluran atau penjualan BBM bersubsidi perlu terus diperbarui.
Seperti diketahui, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2022 sedang menanggung beban teramat berat karena besarnya alokasi pembiayaan untuk subsidi energi. Pemerintah melalui APBN mensubsidi BBM, LPG, dan listrik yang bertujuan untuk mendukung kegiatan produktif sebagian besar masyarakat. Untuk subsidi tiga jenis energi tersebut, beban APBN tahun ini mencapai Rp 502,4 triliun, sudah termasuk kompensasi untuk Pertamina dan PLN (Perusahaan Listrik Negara).
Alokasi anggaran untuk subsidi energi tahun 2022 memang sebesar Rp 208,9 triliun. Rinciannya, subsidi BBM dan LPG melalui Pertamina senilai Rp 149,4 triliun, dan subsidi listrik melalui PLN sebesar Rp 59,6 triliun. Namun, untuk merawat dan mendukung kemampuan Pertamina dan PLN yang menyediakan kebutuhan masyarakat akan energi yang disubsidi negara, pemerintah harus memberikan kompensasi kepada kedua BUMN itu. Jika kompensasi itu tidak segera dipenuhi, kemampuan Pertamina dan PLN untuk menyediakan BBM, LPG, dan daya listrik bersubsidi akan terganggu.
Dengan demikian, dalam APBN 2022, dialokasikan anggaran kompensasi energi sebesar Rp 234,6 triliun. Kompensasi untuk BBM jenis solar dan pertalite sebesar Rp 213,4 triliun, sedangkan kompensasi untuk listrik Rp 21,4 triliun. Selain itu, dalam APBN tahun ini, pemerintah juga mengalokasikan kurang bayar kompensasi energi 2021 sebesar Rp 108,4 triliun.
Jumlah tersebut meliputi kompensasi BBM Rp 83,8 triliun dan kompensasi listrik Rp 24,6 triliun. Dari perhitungan tersebut, beban subsidi energi dalam APBN 2022 menjadi Rp 502,4 triliun.
Menurut Penulis, penyaluran atau penjualan BBM bersubsidi jenis Pertalite dan Solar paling sulit dikendalikan. Dikarenakan harga jual BBM bersubsidi ditetapkan lebih rendah dari harga pasar karena pengadaannya (impor) dibiayai dengan APBN. Untuk menjaga keseimbangan APBN, pengadaan atau belanja BBM bersubsidi pun dibatasi dengan mekanisme kuota. Karena ada kandungan subsidi negara di dalam harga jual, sudah pasti BBM bersubsidi pun idealnya hanya boleh dikonsumsi oleh kelompok masyarakat yang berhak.
Namun demikian, dalam kenyataannya BBM bersubsidi bahkan dikonsumsi juga oleh kelompok masyarakat yang mampu. Pertamina mendapati fakta bahwa sebagian besar BBM subsidi dikonsumsi kalangan masyarakat mampu. Tidak kurang dari 60 persen konsumen yang membeli dan menggunakan BBM subsidi adalah kelompok masyarakat mampu atau kalangan kaya. Mereka mengonsumsi sedikitnya 80 persen dari BBM subsidi yang dipasok ke pasar.
Berdasarkan fakta tersebut, pemerintah khawatir bahwa sisa kuota BBM subsidi habis sebelum berakhirnya tahun anggaran 2022. Oleh karena itu, pemerintah terdorong untuk mewacanakan kebijaksanaan untuk menaikkan harga BBM. Namun, diyakini bahwa pemerintah tidak akan gegabah. Sejumlah aspek pasti tetap diperhitungkan oleh pemerintah. Sebab, menaikkan harga jual BBM selalu menimbulkan efek domino yang dampaknya pun tak kalah seriusnya.
Seperti dampak pada percepatan laju inflasi hingga memperlemah daya beli masyarakat kebanyakan. Sebab, menaikkan harga energi berkonsekuensi logis pada naiknya biaya produksi dan distribusi, untuk kemudian berujung pada naiknya harga barang dan jasa.
Perlu diketahui bahwa saat ini harga BBM di Indonesia masih jauh lebih murah dibandingkan negara lain. Hal tersebut dikarenakan BBM di Indonesia telah disubsidi oleh pemerintah agar kelompok masyarakat yang kurang mampu juga dapat membeli BBM untuk mendukung pekerjaan mereka dalam mencukupi kebutuhan.
Namun demikian, dapat dipastikan bahwa pemerintah akan tetap menyediakan BBM bersubsidi. Sejumlah opsi yang sedang dirancang semata-mata bertujuan meningkatkan efektivitas penyaluran BBM bersubsidi agar benar-benar tepat sasaran. Penyaluran BBM subsidi yang efektif tidak akan mengganggu keseimbangan APBN. Boleh jadi, tidak ada lagi toleransi berlebihan terhadap mereka yang sesungguhnya tidak berhak menggunakan BBM bersubsidi.
Apapun keputusan yang dibuat oleh pemerintah nanti terhadap harga BBM di Indonesia, penulis berharap masyarakat dapat menanggapinya dengan tenang karena keputusan pemerintah tidak mungkin dilakukan untuk merugikan masyarakat. Justru keputusan yang dilakukan demi menyelamatkan APBN yang terlalu banyak memberikan subsidi.
Dengan adanya penyesuaian terhadap harga BBM di Indonesia, diharapkan ada keputusan yang tegas terhadap masyarakat yang mampu, namun tetap menggunakan BBM bersubsidi serta harapan kedepannya APBN Indonesia tetap sehat dan kuota BBM subsidi untuk anggaran tahun ini dapat tercukupi.
*Penulis adalah kontributor Trilogi Institute
(SE/AA)