Suarapapuanews, Jakarta– Sertifikat halal merupakan salah satu hal yang penting bagi industri kuliner tak terkecuali usaha kuliner di kalangan UMKM. Namun untuk mendapatkan sertifikat halal rupanya masih ada yang menganggap rumit.
Kerumitan ini tentu saja menurunkan minat masyarakat untuk memulai usaha, sehingga diperlukan sebuah formulasi yang dapat mempermudah pengusaha serta meningkatkan minat masyarakat untuk berwirausaha. Untuk mengurai beragam kerumetan, pemerintah memangkas aturan atau undang-undang yang dianggap mempersulit serta berbelit-belit. Undang-undang (UU) Cipta Kerja menjadi jawaban atas segala keruwetan tersebut.
Harapannya, selain dapat memudahkan pelaku UMKM dalam mengurus perizinan, pelaku usaha di sektor mikro maupun menengah juga mendapatkan kemudahan untuk mendapatkan sertifikat halal bagi produk mereka. Umar selaku Kepala Pusat Pembinaan dan Pengawasan Jaminan Produk Halal Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH), menyebutkan bahwa UU Cipta Kerja menjamin kemudahan serta prosedur singkat mengenai penerbitan status halal bagi suatu produk dari satu badan usaha.
Umar mengungkapkan, UU Cipta Kerja ini memangkas segala keruwetan yang dialami oleh pelaku UMKM dalam mendapatkan sertifikasi halal bagi produknya. Bahkan, di dalam UU Ciptaker, dibahas pula mengenai dua jalur penerbitan sertifikasi halal, sehingga tidak disamakan seluruhnya, yaitu melalui self declare bagi usaha kecil dan menengah serta Prior Verification bagi usaha menengah dan besar.
Dalam UU Cipta Kerja pasal 44, Para pelaku UMKM di sektor pangan mendapatkan jaminan untuk dapat memperoleh sertifikasi halal secara gratis. Penggratisan biaya sertifikasi tersebut merupakan insentif yang diberikan oleh pemerintah. Biaya sertifikasi halal akan dibebankan kepada pemerintah. Selain itu, pemerintah juga menjamin pendaftaran usaha UMKM digratiskan oleh pemerintah. Pelaku UMKM tidak perlu lagi repot-repot mengurus izin namun hanya perlu mendaftarkan unit usahanya saja.
Dalam UU Cipta Kerja, MUI akan tetap berperan aktif sebagai pemegang otoritas yang mengeluarkan fatwa kehalalan suatu produk. Pada kesempatan berbeda, Sekretaris Penyelenggara Jaminan Produk Halal, M Lutfi Hamid mengatakan, aturan produk halal ini penting karena 85 persen penduduk di Indonesia adalah Muslim.
Lutfi mengatakan, ada 22 pasal yang diubah dan 2 pasal tambahan dalam UU Cipta Kerja. Aturan ini tidak sama sekali menghilangkan MUI sebagai lembaga pemberi fatwa sertifikasi halal. Dalam UU Cipta Kerja, seorang auditor tentu saja harus menguasai aspek kesyariahan. Fatwa halal tetap ditetapkan oleh MUI. Namun peran masyarakat dan perguruan tinggpun diberikan. Hal ini dilakukan tentu saja bertujuan agar ekosistem halal bisa digaungkan dengan menumbuhkan seluruh elemen bangsa. Ia juga mengatakan, bahwa melalui kebijakan tersebut, akan tumbuh lembaga pemeriksa kehalalan. Semua akan berbasis regulasi dengan penyederhanaan perizinan.
Tidak sedikit yang menganggap bahwa UMKM tidak bisa menjaga kehalalannya. Oleh karena itu Negara juga harus hadir melalui pembinaan dan memberikan garansi kehalalan produk. Sementara itu, terkait dengan perpanjangan sertifikat halal, prosesnya akan dipermudah. Dulu sertifikat halal berlaku 2 tahun. Namun saat ini, tidak ada perubahan komposisi halal, pengawas bisa langsung mengeluarkan sertifikatya.
Sebelumnya, Pada kesempatan berbeda, Direktur Asosiasi Asuransi Syariah Indonesia Erwin Noekman berharap agar pelaksanaan kawasan industri syariah bisa mendorong perkembangan asuransi syariah. Tentunya hal tersebut dapat terwujud apabila pemerintah memberikan dukungan dengan menerbitkan aturan agar seluruh aktifitas di kawasan industri halal juga mempergunakan berbagai hal untuk mendukung aktifitas halal, seperti misalnya asuransi syariah.
Sementara itu, Sekretaris Lembaga Dakwah Khusus PP Muhammadiyah Faozan Amar mengatakan, regulasi dalam industri dalam industri halal itu penting. Untuk itu, negara perlu hadir untuk melindungi segenap bangsa Indonesia. Salah satunya melalui UU No.11/2020 tentang Cipta Kerja.
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) UHAMKA ini mengaku optimis dengan regulasi yang tertuang dalam UU Cipta Kerja mampu membawa Indonesia ke arah yang lebih baik. Ia pun meminta kepada Kementarian Koordinator Bidang Perekonomian untuk dapat menggandeng semua elemen untuk mensosialisasikan undang-undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Ketika undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja sudah disetujui, maka sebaiknya hal ini menjadi landasan untuk berupaya meningkatkan perekonomian rakyat dengan mengakomodasi berbagai keperluan yang berkaitan dengan izin usaha.
Sebagai negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam, sertifikasi halal tentu merupakan sesuatu yang penting, sehingga pemerintah harus memiliki andil dalam menyederhanakan regulasi tentang kehalalan suatu produk. Dengan kepemilikan sertifikasi halal, tentu saja sebuah produk akan semakin memiliki nilai jual, apalagi dengan jumlah umat Muslim di Indonesia yang merupakan agama yang dianut oleh mayoritas warga negara Indonesia.
Kemudahan dalam mendapatkan sertifikasi halal tentu saja merupakan bentuk kehadiran pemerintah dalam memberikan solusi konkrit kepada masyarakat khususnya para pelaku usaha di bidang Food and Beverages, hal ini tentu saja perlu disambut positif demi perkembangan ekonomi di Indonesia.
)* Penulis adalah kontributor Lingkar Pers
(DP/AA)