Suarapapuanews, Jakarta– Paham radikal merupakan hal berbahaya yang dapat merusak bangsa Indonesia. Penyebaran paham radikal dan intoleransi sudah meluas dan masyarakat perlu waspada terhadap laju penyebaran radikalisme. Seperti yang dikatakan oleh Komjen Gatot Eddy Pramono selaku Wakapolri bahwa dalam memasuki tahun ajaran baru, dunia pendidikan khususnya tingkat Perguruan Tinggi harus terus meningkatkan kewaspadaan terhadap paham dan gerakan kekerasan.
Terutama gerakan-gerakan yang ditujukan untuk menggulingkan pemerintahan yang sah dengan legitimasi yang didasarkan pada pemahaman agama yang salah. Paham dan gerakan tersebut adalah intoleransi, radikalisme, ekstremisme, dan terorisme.
Gatot mengatakan bahwa berdasarkan catatan Global Terrorism Index 2022, sepanjang tahun 2021, terdapat 5.226 aksi terorisme di seluruh dunia. Korban meninggal dunia yang berjatuhan akibat aksi tersebut mencapai 7.142 jiwa. Tidak sedikit dari jumlah tersebut adalah anak-anak, perempuan, dan golongan usia renta. Hal tersebut menunjukkan bahwa terorisme adalah kejahatan terhadap kemanusiaan, bukan gerakan keagamaan.
Di Indonesia sendiri, berdasarkan data yang dimiliki oleh Densus 88 terkait aksi terorisme dan penangkapan terhadap pelakunya juga menunjukkan angka yang tinggi. Fenomena tersebut tidak bisa dilepaskan dari penyebaran paham dan gerakan radikal serta intoleransi yang utamanya menyasar kalangan anak-anak muda, termasuk menyasar ke wilayah pendidikan.
Sebagai pintu terakhir sebelum menggumpal menjadi terorisme, radikalisme merupakan sikap atau mental yang menyetujui dan mendukung penggunaan aksi-aksi kekerasan untuk mencapai suatu tujuan. Menurut penulis, jika sikap dan pemahaman ini tidak segera diintervensi, sangat mungkin seseorang yang sudah radikal menjadi teroris. Yang bersangkutan bukan lagi mendukung dan menyetujui aksi-aksi kekerasan, tetapi sudah terlibat langsung dengan menjadi pelaku atau eksekutor aksi-aksi kekerasan tersebut.
Dengan demikian, hal yang harus dipahami bersama yaitu radikalisme terjadi secara bertahap dan dengan kadar yang berbeda-beda. Pada umumnya, radikalisme bermula dari intoleransi, yaitu sebuah pemahaman dan sikap yang menolak keberadaan kelompok lain seperti risih dengan adanya perbedaan.
Ada beberapa penyebab mudahnya anak-anak muda tertarik pada narasi atau bahkan gerakan intoleran dan radikal seperti berikut.
Pertama, mereka sedang mencari jati diri. Hal tersebut biasanya berasal dari kalangan mahasiswa dan pelajar, mereka merupakan orang-orang yang sedang dalam masa pencarian jati diri di umur yang sudah menginjak dewasa.
Kedua, anak-anak muda tersebut membutuhkan perasaan kebersamaan. Dengan begitu, kelompok teroris memanfaatkan celah tersebut kepada para remaja yang sedang resah terhadap kondisi emosionalnya sehingga mereka membujuk anak-anak muda yang ingin mencari kebersamaan yang kadang tidak didapatkan dari keluarganya.
Ketiga, mereka ingin memperbaiki sesuatu yang dianggap mencederai rasa keadilan. Oleh karena itu, anak-anak remaja memiliki semangat yang menggebu-gebu dan idealisme yang tinggi untuk melakukan perubahan sehingga hal tersebut dimanfaatkan oleh kelompok radikal untuk mengajak mereka bertindak kekerasan.
Keempat, mereka sedang membangun citra diri dimana sangat ingin terlihat menonjol atau eksis. Mereka cenderung tidak segan untuk melakukan berbagai cara untuk tampil impresif, termasuk di antaranya adalah dengan menjadi bagian dari kelompok dan gerakan ekstremis.
Kelima, mereka memiliki akses yang luas untuk berinteraksi dengan siapapun di dunia maya, termasuk dengan kelompok radikal. Persinggungan yang terjadi di dunia maya tersebut yang kerap menjadi permulaan bagi kalangan muda untuk bergabung dengan kelompok teroris.
Berdasarkan beberapa penyebab tersebut, penanggulangan bahaya radikalisme dan terorisme di kalangan perguruan tinggi harus diprioritaskan, selain karena hal ini merupakan bagian dari tiga dosa besar di dunia pendidikan yang sedang gencar dihilangkan oleh pemerintah, radikalisme dan terorisme juga berpotensi besar menghancurkan bukan saja negara, tetapi kemanusiaan dan peradaban kita.
Selanjutnya, pihak Polri serius membangun kerja sama dengan universitas-universitas di Indonesia untuk melawan segala bentuk ajaran dan gerakan kekerasan. Hal tersebut dilakukan dengan meningkatkan kesiapsiagaan nasional, masifikasi program kontra-ideologi, deradikalisasi, netralisasi media, serta netralisasi situasi.
Pihak Universitas perlu membuka lebih banyak ruang perjumpaan di dalam kampus, tidak boleh ada organisasi mahasiswa yang bersifat eksklusif. Universitas juga harus tegas soal regulasi anti-radikalisme di internal masing-masing. Hal tersebut dapat diwujudkan salah satunya dengan kesepakatan bersama untuk selalu patuh dan menjunjung tinggi empat komitmen dasar negara, yakni Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI. Kampus juga harus selalu memastikan materi pembelajaran mengandung pandangan keagamaan moderat dan bernuansa wawasan kebangsaan.
Seseorang dapat dicurigai terjangkit radikalisme apabila menunjukkan bentuk-bentuk aksi seperti mengapresiasi aksi terorisme, tidak mengecam aksi terorisme, menunjukkan dukungan melalui unggahan di media sosial, mencurigai aksi teror sebagai rekayasa, dan sebagainya.
Dengan demikian, penulis mengajak seluruh elemen masyarakat beserta para lembaga maupun instansi terkait untuk bersatu guna menangkal penyebaran radikalisme dan terorisme khususnya di dunia pendidikan yang dapat menciptakan perpecahan di Indonesia. Harapannya bahwa tidak ada lagi mahasiswa yang terindikasi mengikuti ajaran kelompok-kelompok radikal sehingga kelompok radikal tersebut dapat dilawan dan hilang dari Indonesia.
*Penulis adalah kontributor Bunda Mulia Institute
(RG/AA)