Suarapapuanews, Jakarta– Rancangan Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) akan segera disahkan dan wajib untuk dijadikan KUHP karena pro demokrasi. Pasal-pasal di dalamnya akan membentuk Indonesia menjadi lebih baik dan mengukuhkan demokrasi di negeri ini.
Pengesahan RKUHP sangat dinantikan masyarakat. Dalam revisi KUHP tersebut ada banyak perubahan, terutama menyangkut demokrasi. Perbedaan pendapat di masyarakat dianggap wajar karena bisa jadi mereka belum memahami maksud dari revisi KUHP tersebut.
Dalam Pasal 217-219 RKUHP dijelaskan bahwa tiap orang yang menghina Presiden Indonesia dan juga wakilnya akan terancam hukuman penjara. Pasal 217 menyebutkan: Setiap orang yang menghina diri Presiden/Wapres yang tidak termasuk hukuman pidana yang lebih berat dipidana dengan penjara 5 tahun.
Sementara itu, dalam Pasal 218 dijelaskan bahwa seseorang yang menyerang kehormatan harkat dan martabat Presiden Indonesia atau wakilnya akan terancam penjara 3 tahun 6 bulan. Pasal 219 juga mengatur bahwa seseorang yang menyebarluaskan gambar, rekaman, atau tulisan yang menghina kehormatan presiden dan wakilnya, terancam penjara selama 4 tahun 6 bulan.
Pasal-pasal tersebut yang dikatakan kontroversial oleh sebagian kalangan masyarakat, karena merasa pemerintah bertindak arogan. Padahal sebaliknya, pasal-pasal ini untuk menegakkan demokrasi di Indonesia. Lagipula, presiden adalah simbol negara dan menghina simbol negara berarti menghina negaranya juga, sehingga tidak boleh dilakukan dengan semena-mena.
Politisi Teddy Gusnaidi menyatakan bahwa pasal penghinaan presiden dan wakil presiden tidak perlu dijadikan polemik. RKUHP tidak melarang masyarakat untuk mengkritik dan mengeluarkan pendapat, tetapi melarang mereka untuk menghina kepala negara. Indonesia adalah negara demokrasi dan bukan negara barbar. Bukan berarti demokrasi adalah bebas sebebas-bebasnya (liberal).
Dalam artian, masyarakat tidak perlu panik karena pemerintah masih menegakkan demokrasi di Indonesia. Demokrasi berarti masyarakat boleh berpendapat, dan mengambil keputusan yang menyangkut hidup mereka. WNI (warga negara Indonesia) juga diperbolehkan untuk merumuskan dan mengembangkan hukum, baik secara langsung maupun perwalian.
Demokrasi berasal dari kata demos dan kratos yang berasal dari bahasa Yunani, yang artinya rakyat dan pemerintahan. WNI boleh ikut andil dalam pengaturan-pengaturan pemerintah (melalui wakil rakyat/anggota DPR RI), tetapi tidak boleh menghina pemerintah. Pemerintah sudah mendengarkan suara rakyat, terutama di era reformasi, tetapi jangan sampai dijelek-jelekkan.
Setelah era reformasi dimulai tahun 1998, terjadi euforia dan masyarakat merasa bebas, karena selama masa orde baru sistem demokrasi tidak diaplikasikan. Sejak era reformasi, banyak orang bebas berpendapat dan tidak takut medianya dibreidel (dihentikan secara paksa penerbitannya), atau yang paling parah adalah dipetrus. Namun sayang euforia ini membawa dampak-dampak negatif.
Euforia kebebasan berpendapat malah membuat demokrasi melenceng jauh menjadi liberal. Dengan alasan menegakkan demokrasi, maka sebagian orang mengungkapkan pendapatnya di sosial media, termasuk menghina pemerintah dan Presiden Jokowi. Padahal ini bukanlah demokrasi, melainkan liberalisasi, yang ada di banyak negara lain tetapi tidak bisa diaplikasikan di Indonesia.
Mayoritas orang yang pernah menghina pemerintah, presiden, dan wapres, adalah mereka yang tidak puas akan keputusan pemerintah. Padahal keputusan tersebut sudah di kaji secara matang, demi kehidupan masyarakat yang lebih baik. Namun ada pihak yang selalu tidak puas dan akhirnya mencela Presiden Indonesia.
Bisa jadi yang selalu menghina presiden dan wakilnya adalah mereka yang saat Pemilu lalu bukan pendukung Presiden Jokowi. Mereka merasa kecewa dan akhirnya menumpahkan kekesalannya di sosial media. Padahal jika mereka melakukannya, keadaan tidak akan berubah dan presidennya tidak berganti sampai pemilu tahun 2024 mendatang.
Teddy menambahkan, menghina tidak diperbolehkan di dalam ajaran agama apapun. Oleh karena itu ia mendukung penuh pengesahan RKUHP menjadi KUHP. Dalam artian, menghina seseorang, termasuk kepala negara, adalah sikap yang menambah dosa dan melanggar norma kesopanan. Jika RKUHP diresmikan jadi KUHP maka pelaku penghinaan akan kapok karena terancam dibui.
Presiden Indonesia adalah simbol negara dan harus dijaga kehormatannya. Oleh karena itu demokrasi harus ditegakkan, yakni dengan menjaga marwah presiden dan wakilnya. Bukan berarti dengan pengesahan RKUHP, pemerintah jadi tidak pro rakyat. Justru RKUHP wajib segera dijadikan KUHP karena menimbulkan efek jera bagi penghina pemerintah, yang bisa jadi provokator dan meresahkan masyarakat.
Bayangkan jika para penghina dibiarkan saja, bagaimana dengan image Presiden Indonesia dan wakilnya di luar negeri? Mereka akan ternganga saat membaca berita-berita tentang netizen Indonesia yang mulutnya luar biasa parah dalam menghina presidennya sendiri. Sungguh memalukan, padahal masyarakat Indonesia sejak dulu dinilai sangat menjunjung tinggi adat ketimuran yang sangat sopan.
Pasal-pasal dalam RKUHP yang mengatur tentang penghina presiden dan wakilnya, dibuat untuk menjaga kehormatan kepala negara dan pemerintah. Jangan malah ‘digoreng’ dan dibuat isu, seolah-olah pemerintah tak memperbolehkan adanya kritikan. Masyarakat harap mengerti beda antara kritikan dan hinaan agar iklim demokrasi dapat terus terjaga.
)* Penulis adalah kontributor Pertiwi Institute
(AH/AA)