Suarapapuanews, Jakarta– Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKHUP) menyebutkan tentang Pasal Penghinaan Presiden dan Wakil Presiden. Pasal tersebut bukan untuk membatasi kritik, namun sebagai pembatasan yang harus dijaga bersama sebagai Masyarakat Indonesia yang beradab.
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna H. Laoly pernah mengatakan bahwa Pasal Penghinaan Presiden bukan untuk membatasi kritik. Hal ini dikarenakan peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia membuka ruang atas kritikan. Apalagi bila kritik tersebut merupakan kritik yang membangun. Penyampaian kritik seharusnya juga menyesuaikan dengan budaya bangsa timur yang santun dan berdab.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kritik merupakan sebuah kecaman atau tanggapan, atau kupasan yang kadang-kadang disertai uraian dan pertimbangan baik buruk terhadap suatu hasil karya, pendapat, dan sebagainya. Dengan adanya kritik, suatu hal akan teruji kualitasnya. Dalam konteks kehidupan bernegara, Indonesia sebagai negara yang menganut azas demokrasi pada prinsipnya mengizinkan setiap orang dapat melontarkan kritiknya kepada pemerintahan dengan cara yang beradab.
Kritik diperlukan agar tercipta kontrol dari rakyat terhadap jalannya pemerintahan. Kontrol diperlukan agar tidak terjadi penyelewengan serta penyimpangan yang hasil akhirnya akan merugikan hajat hidup orang banyak. Namun demikian, bila pemerintah telah menjawab kritik dari rakyat dengan data yang sudah teruji kredibilitasnya, seyogyanya hal ini tidak disebut dengan ungkapan pemerintahan yang anti kritik.
Penghinaan menurut KBBI berasal dari kata hina, yang bermakna pencemaran terhadap nama baik seseorang yang dapat dilakukan dengan lisan dan tulisan. Penginaan sendiri merupakan sebuah tulisan yang mengakibatkan kerugian orang lain atau mencemarkan nama baik orang lain. Penghinaan merupakan hal yang tidak baik, karena kehormatan individu harus dihormati. Presiden sebagai kepala negara sudah seharusnya dijaga marwah dan kehormatannya. Penghinaan terhadap Presiden apalagi ditambah dengan bumbu kebohongan secara tidak langsung sudah menurunkan harga diri bangsa, dan bukanlah perbuatan yang beradab.
Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Edward Osmar Sharif Hiariej mengatakan, pasal yang berkaitan dengan penyerangan kehormatan terhadap Presiden dan Wakil Presiden tetap ada dalam RKHUP. Dirinya menegaskan bahwa yang terkena tindak pidana adalah pihak yang melakukan penghinaan, dan bukan yang melakukan kritik yang membangun.
Dalam draf RKHUP, penyerangan terhadap kehormatan Presiden dan Wakil Presiden berada di Pasal 218, Pasal 219, dan Pasal 220. Dalam Pasal 218 Ayat 1, disebutkan bahwa setiap orang yang menyerang harkat dan martabat Presiden atau Wakil Presiden dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama tiga tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak IV.
Bila sekilas kita membaca bunyi dari pasal tersebut, terkesan pemerintah adalah sosok yang anti kritik dari rakyatnya. Namun yang harus kita perhatikan, pada ayat selanjutnya yakni Pasal 218 Ayat 2 diberikan penjelasan tentang kritik yang tidak termasuk kriteria sebagai sebuah penghinaan, yaitu jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum, atau pembelaan diri. Frase dilakukan untuk kepentingan umum dijelaskan pula dalam bab penjelasan yang mana bertujuan untuk melindungi kepentingan masyarakat yang diungkapkan melalui hak berekspresi dan hak berdemokrasi. Sebagai contoh pemberian kritik atau opini yang berbeda dengan kebijakan yang telah ditetapkan oleh Presiden dan Wakil Presiden.
Bagian Penjelasan Pasal 218 Ayat 2 juga menjelaskan definsi dari kritik tersebut. Dalam penjelasan ini disebutkan tiga bentuk definisi dari kritik kepada pemerintah. Pertama adalah menyampaikan pendapat terhadap kebijakan Presiden dan Wakil Presiden yang disertai uraian dan pertimbangan baik buruknya kebijakan tersebut. Secara tidak langsung, penjelasan ini menitik beratkan pentingnya sebuah kritik yang bersifat konstruktif dan objektif dengan disertai solusi alternatif.
Kedua, kritik yang mengandung ketidaksetujuan terhadap kebijakan atau tindakan Presiden dan Wakil Presiden lainnya. Kritik seperti ini berguna agar terdapat kontrol dari masyarakat atas setiap kebijakan pemerintah, dan pemerintah bisa menjadikan kritikan dari masyarakat sebagai evaluasi untuk penentuan kebijakan selanjutnya.
Terakhir, kritik tidak dilakukan dengan niat jahat untuk merendahkan atau menyerang harkat dan martabat dan/atau menyinggung karakter atau kehidupan pribadi Presiden dan Wakil Presiden. Hal ini dimaksudkan agar ke depannya tidak lagi tersebar beragam bentuk penghinaan berkedok kritik yang tidak substansial terhadap jalannya pemerintahan. Seperti menyandingkan gambar kepala negara dengan gambar yang tidak pantas, atau pun menyerang kehidupan pribadi kepala negara atas dasar kebencian.
Hal yang perlu ditegaskan dari pembahasan mengenai Pasal Penghinaan Presiden dalam RKHUP ini adalah sifatnya yang berupa delik aduan. Maksudnya adalah pasal ini bisa menjerat pelaku penghinaan apabila Presiden dan Wakil Presiden sendiri yang melaporkan jika dirinya menerima penghinaan.
Sebagai informasi, terdapat tujuh hal ihwal penyempurnaan terhadap RKHUP. Selain penyerangan harkat dan martabat Presiden dan Wakil Presiden, terdapat 14 poin krusial yang menjadi pembahasan lainnya. Poin krusial tersebut adalah pasal hukum yang hidup dalam masyarakat (Living Law), pidana mati, menyatakan diri dapat melakukan tindak pidana karena memiliki kekuatan ghaib, dokter atau dokter gigi yang melaksanakan pekerjaannya tanpa izin, Contempt of court, unggas yang merusak kebun yang telah ditaburi benih, pasal soal advokat yang curang, penodaan agama, penganiayaan hewan, alat pencegah kehamilan dan pengguguran kandungan, penggelandangan, pengguguran kandungan, perzinahan, kohabitasi, dan perkosaan.
Mengkritik kebijakan pemerintahan adalah bentuk pelaksanan demokrasi di negara kita. Dengan kritik yang membangun maka kebijakan akan berjalan sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan kepentingan nasional. Penghinaan bukanlah bagian dari kritik, karena tujuannya bisa mengarah kepada pencemaran nama baik, dan sangat tidak substansial terhadap jalannya kebijakan di pemerintahan. Mari menjadi masyarakat yang cerdas, yang mendukung penuh segala kebijakan yang membawa kebaikan bagi Indonesia.
)* Penulis adalah Kontributor untuk Pertiwi Institute
(BA/AA)