Suarapapuanews, Jakarta– Radikalisme yang dibawa oleh kelompok radikal dan teroris, bisa menggerogoti negara secara perlahan. Oleh karena itu paham ini wajib dilawan, agar Indonesia tidak rusak berat seperti Afghanistan atau Suriah. Dalam memberantas radikalisme maka masyarakat wajib bersinergi, agar paham ini tidak menyebar dan menghancurkan Indonesia.
Pengeboman dan penyerangan adalah peristiwa mengerikan yang bisa terjadi akibat ulah kelompok radikal dan teroris. Jika mereka dibiarkan saja, maka bayangkan Indonesia bisa hancur akibat keganasan radikalisme. Ketika gagal melakukan pengeboman, maka kelompok radikal mencari cara lain dengan menggalang massa dan mempengaruhi masyarakat agar mau mendukung radikalisme.
Saat kelompok radikal sudah mendekati masyarakat maka amat berbahaya karena bisa menyebabkan perpecahan di Indonesia, karena mereka dengan sengaja mengadu domba. Oleh karena itu radikalisme wajib untuk diberantas. Baik oleh aparat keamanan maupun warga sipil.
Politisi Hasto Kristiyanto menyatakan bahwa bahaya radikalisme harus disadari dan dihadapi bersama, agar tidak semakin besar dan menggerogoti keutuhan Indonesia. Radikalisme masuk ke dalam alam pikir dan menggunakan berbagai cara untuk mengganggu Indonesia. Cara untuk menanggulanginya adalah dengan membumikan Pancasila
Dalam artian, radikalisme memang harus dihadapi bersama-sama. Bukankah bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh? Dengan semangat kebersamaan dan toleransi maka semua pihak wajib untuk melawan radikalisme agar paham tersebut tidak menghancurkan Indonesia.
Memberantas radikalisme bukan hanya tugas pemerintah atau aparat keamanan, tetapi juga pihak-pihak lain. Di antaranya tokoh agama, tokoh masyarakat, kepala sekolah, dan warga sipil. Jika semua pihak bersinergi maka akan optimis dalam melawan radikalisme, sehingga kelompok radikal bisa pergi dari Indonesia.
Untuk memberantas radikalisme maka tokoh agama bisa memberi ceramah bahwa radikalisme itu tidak bisa diterima, karena menggunakan jalan kekerasan. Sedangkan di dalam ajaran agama tidak pernah diperbolehkan menyakiti orang lain, apalagi menghilangkan nyawa dengan cara penyerangan dan pengeboman.
Para tokoh agama juga menerangkan bahwa sistem khilafah yang digembar-gemborkan tidak bisa didirikan di Indonesia. Penyebabnya karena Indonesia bukanlah sebuah negara yang memakai hukum agama, seperti di kerajaan-kerajaan di Timur Tengah.
Bahkan mendiang mantan Presiden Gus Dur (K.H. Abdurrahman Wahid) juga berpendapat bahwa di dalam kitab suci disebutkan negara yang baik dan penuh pengampunan Tuhan. Dalam artian, beliau menentang sistem khilafah karena menurutnya tidak disebutkan di dalam kitab suci.
Pendapat Gus Dur diperkuat oleh Gus Nadir, seorang ulama muda. Beliau juga menyatakan bahwa di dalam kitab suci tidak disebutkan khilafah. Dalam artian, para tokoh agama tidak setuju akan khilafah dan kelompok radikal jangan mengait-ngaitkan antara agama dengan khilafah. Jika para tokoh agama berceramah seperti ini maka para jamaah akan menurut dan mereka tidak akan terpengaruh oleh bujukan kelompok radikal.
Untuk melawan radikalisme maka juga diperlukan kerja sama dari pihak sekolah. Bisa diselipkan pelajaran anti radikalisme, misalnya di mata pelajaran sejarah, kewarganegaraan, atau agama. Jika murid-murid memahami sejarah Indonesia maka mereka akan mengerti bahwa negeri ini memiliki sistem demokrasi, yang dicanangkan sejak tahun 1945. Sistem ini tidak bisa diganti dengan khilafah karena melanggar hukum di Indonesia.
Para murid akan belajar mengapa radikalisme dilarang di Indonesia. Pertama, mereka ingin menggusur demokrasi dan juga anti Pancasila. Kedua, tidak bisa mendirikan negara baru di sebuah negara, karena dianggap sebagai pemberontakan. Sehingga para murid paham bagaimana sistem hukum di Indonesia dan mengerti alasan mengapa tidak boleh ikut kegiatan dari kelompok radikal.
Para murid juga paham mengapa radikalisme dilarang, karena paham itu memang berbahaya jika menyebar dengan luas. Kelompok radikal tidak menghargai perbedaan dan memaksakan pendapatnya. Apalagi mereka menggunakan cara-cara kekerasan sehingga melanggar hukum. Murid memang harus diberi pemahaman tentang bahaya radikalisme sejak awal, dan pihak sekolah mendukung pemerintah dalam melawan radikalisme dengan sosialiasi ke murid-muridnya.
Kolaborasi memang harus dilakukan karena untuk melawan radikalisme, tidak hanya tugas dari pemerintah dan Tim Densus 88, melainkan semua pihak. Masyarakat juga bisa melawan radikalisme dengan cara kompak untuk menghalau kelompok radikal dan teroris. Cara pertama adalah dengan melapor ketika ada kegiatan radikalisme yang mencurigakan.
Contohnya ketika ada penemuan cabang ormas radikal di beberapa daerah. Seharusnya masyarakat melapor jika ada ormas yang radikal, bisa ke kantor polisi atau ke aparat lainnya. Jika ada laporan maka akan diadakan penyelidikan, sehingga pemimpin ormas radikal bisa segera dicokokan, dan tidak bisa menyebarkan ajarannya.
Sinergi dalam melawan radikalisme harus dilakukan oleh semua pihak. Tidak hanya oleh pemerintah atau aparat keamanan, tetapi juga tokoh masyarakat, tokoh agama, dan warga sipil. Jika semuanya berkolaborasi maka akan optimis bisa membendung radikalisme secepatnya, dan kelompok radikal serta teroris bisa pergi dari Indonesia.
*Penulis adalah kontributor Bunda Mulia Institute
(MK/AA)