Suarapapuanews, Jakarta– Seperti diketahui, radikalisme di Indonesia masih ada disekitar kita. Perilaku radikal tercermin pada sifat intoleran, memaksa perubahan tatanan, merendahkan martabat perempuan, cenderung menentang hukum positif, hingga perlawanan terhadap semua institusi negara. Dengan begitu, jika proses penguatan radikalisme tidak segera dihentikan, maka akan berpotensi mengeskalasi masalah dari waktu ke waktu.
Tidak hanya menggerogoti ideologi Pancasila sebagai dasar negara dan sumber hukum, benih radikalisme di tengah masyarakat saat ini sedang berupaya membelah persatuan masyarakat Indonesia. Hal tersebut akan sangat berbahaya jika para penganut radikalisme tersebut mampu berperan dominan pada sistem dan tata kelola negara serta pemerintahan.
Penulis berharap pemerintah dapat membuat rumusan strategi yang persuasif untuk menghentikan proses penguatan radikalisme di segala aspek, termasuk dalam aspek birokrasi negara dan daerah. Pemerintah tidak boleh kehilangan kendali atas jalannya birokrasi.
Menangkal radikalisme memang tidaklah mudah. Apalagi jika radikalisme itu sendiri berpijak pada suatu keyakinan. Peran institusi pendidikan dan institusi agama tentu sangat penting. Namun, yang tidak kalah penting adalah peran dari setiap komunitas.
Setiap pribadi dalam masyarakat Indonesia tumbuh dari budaya atau adat istiadat yang dianut orang tua dan leluhur. Dari budaya tersebut itulah lahir yang dinamakan dengan sebutan kearifan lokal.
Kearifan lokal pada semua budaya di Indonesia mengandung nilai-nilai luhur. Nilai luhur dalam kearifan lokal masyarakat Indonesia mencakup rasa cinta tanah air Indonesia, mengedepankan kebersamaan, toleran dan saling menghormati, hingga tolong menolong.
Dalam setiap komunitas, selalu muncul semangat untuk hidup rukun yang bermakna keselarasan atau menghindari pertikaian. Kearifan itulah yang diwariskan kepada setiap orang di Indonesia dari generasi ke generasi.
Semua orang sudah paham bahwa radikalisme yang tumbuh sekarang ini adalah budaya luar. Maka dari itu, salah satu cara atau strategi untuk menangkal radikalisme adalah dengan menguatkan kembali nilai-nilai luhu kearifan lokal pada setiap komunitas dalam masyarakat Indonesia.
Sebagai upaya dalam menangkal radikalisme yang bertentangan dengan ideologi Pancasila, Gerakan Sigap Sosial Kemanusiaan (GASSAK) menggelar diskusi kebhinekaan sekaligus deklarasi pernyataan sikap menolak segala bentuk radikalisme intoleran dan terorisme di Yogyakarta.
Zan Yuri Faton selaku Ketua GASSAK mengatakan bahwa gerakan radikalisme intoleran bahkan terorisme rentan muncul di tengah masyarakat. Sudah beberapa kali ada warga yang terindikasi terlibat dalam gerakan radikal intoleran. Indikasi tersebut sudah jelas dan diketahui pemerintah dan kepolisian. Salah satunya ada yang menentang budaya dan tradisi atau kearifan lokal dengan menyebut sebagai sirik. Selalu memaksakan agama, kepercayaan atau keyakinannya yang dianggap paling benar dan mudah menuding orang lain sebagai kafir atau sesat.
Untuk mengantisipasi berkembangnya paham radikal intoleran dan terorisme tersebut, pihak GASSAK menggelar diskusi yang bertema “Merawat dan Melestarikan Budaya serta Kearifan Lokal dalam Rangka Menangkal Radikalisme untuk Menjaga Kondusifitas Kabupaten Gunungkidul”.
Berdasarkan informasi yang penulis dapat, diskusi tersebut diikuti oleh 50 tokoh dari sembilan Organisasi Masyarakat (Ormas) di Gunungkidul dan dihadiri sejumlah pejabat dari Pemerintah Kabupaten Gunung Kidul, Polres Gunungkidul, Kodim 0730/Gunungkidul, dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Gunungkidul.
Menurut Zan Yuri Faton, Gunungkidul merupakan salah satu kabupaten di DIY yang masih kental dengan budaya dan kearifan lokalnya. Hal tersebut dikarenakan masyarakat setempat masih menjaga budaya gotong-royong, guyub rukun dan sikap saling peduli dengan tetap memegang tradisi leluhur.
Namun, yang harus diperhatikan adalah paham radikal intoleran mencoba mengikis budaya serta kearifan lokal yang ada di Gunungkidul. Hal tersebut jelas membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia karena bertentangan dengan nilai sosial dan mencederai kemanusiaan secara universal.
Dengan demikian, GASSAK akan terus bergerak mengedukasi melalui pendekatan budaya dan kearifan lokal serta kegiatan kemanusiaan. Mereka juga akan mengajak masyarakat untuk melawan dan menolak segala bentuk radikalisme intoleran dan terorisme demi terjaganya situasi yang kondusif di Kabupaten Gunungkidul.
AKP Mujiman selaku Kasat Binmas Polres Gunungkidul turut berharap bahwa GASSAK bisa membantu tugas-tugas kepolisian tidak hanya untuk membendung radikalisme intoleran dan terorisme, tetapi juga dalam bidang keamanan dan ketertiban masyarakat (Kamtibmas) lainnya.
Sementara itu, Saban Nuroni selaku Kepala Kantor Kementerian Agama (Kemenag) Gunungkidul mengatakan bahwa tema diskusi yang diangkat GASSAK sudah selaras dengan salah satu program Kemenag yaitu moderasi beragama. Menurut Nuroni, agama tidak mengajarkan kekerasan, sehingga radikalisme intoleran yang mengarah kepada terorisme bertentangan dengan nilai-nilai agama.
Menurut penulis, radikalisme intoleran bisa berupa budaya asing yang menyasar budaya dan kearifan lokal untuk dihancurkan. Jika budaya sudah bisa dihancurkan, lama kelamaan akan merubah ideologi hingga mengganti sistem pemerintahan. Oleh karena itu, radikalisme intoleran harus dilawan dengan budaya, sehingga budaya akan dilawan dengan budaya.
Harapan kedepannya, semua elemen masyarakat Indonesia harus bertekad tidak memberi ruang bagi proses bertumbuh dan menguatnya radikalisme. Memperkokoh kembali kearifan lokal yang luhur akan memampukan bangsa dalam menangkal radikalisme.
*Penulis adalah kontributor Bunda Mulia Institute
(RG/AA)