Suarapapuanews, Jakarta– Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk mencapai terjadinya swasembada beras di Indonesia. Swasembada beras akan membuat Indonesia menjadi negara yang mandiri dalam penyediaan pangan untuk rakyat, dan untuk terhindar dari ketergantungan impor.
Swasembada adalah usaha atau kemampuan untuk mencukupi kebutuhannya sendiri. Dengan demikian swasembada beras adalah kemampuan dari Indonesia untuk mencukupi kebutuhan produksi beras dalam negeri. Berdasarkan ketetapan Food and Agriculture Organization (FAO) pada tahun 1999, suatu negara dikatakan swasembada apabila produksinya mencapai 90 persen dari kebutuhan nasional. FAO merupakan organisasi di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang menangani masalah pangan dan pertanian. Organisasi ini bertujuan untuk mencapai peningkatan taraf nutrisi dan taraf hidup bagi manusia melalui pengelolaan pangan dan pertanian, pembangunan di pedesaan dan pengurangan kasus kelaparan.
Presiden Republik Indonesia Joko Widodo (Jokowi) optimis dalam beberapa waktu ke depan Indonesia akan mampu untuk mencapai swasembada beras. Hal ini disebabkan Indonesia memiliki segala potensi untuk mencukupi kebutuhan berasnya sendiri.
Pernyataan tersebut disampaikan oleh Presiden Jokowi karena sudah sejak tiga tahun Indonesia tidak mengimpor beras. Presiden Jokowi menambahkan bahwa Indonesia tidak boleh ketergantungan pada satu bahan pangan saja. Indonesia harus mampu memaksimalkan berbagai potensi pangan lainnya.
Mengoptimalkan potensi pangan lainnya diperlukan untuk menghadapi kondisi ketidakpastian global dan ancaman krisis pangan yang terjadi. Sehingga apabila salah satu sumber makanan pokok masyarakat mengalami kelangkaan akibat gagal panen, wabah, faktor cuaca, atau terhambat saat proses distribusi, masih ada bahan lain yang berguna sebagai substitusi. Sebagai informasi banyak yang dapat dikembangkan di Indonesia seperti sagu, sorgum, jagung, porang, ketela pohon, dan lain-lainnya. Diketahui pula sagu, dan jagung juga menjadi bagian dari makanan pokok di beberapa daerah di Indonesia karena kandungan gizi dasarnya yang cukup dan mudah ditemukan masyarakat.
Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Lampung bidang Ekonomi Pertanian dan Sumber Daya Alam, Prof. Dr. Bustanul Arifin turut mengamini optimisme Presiden Jokowi bahwa Indonesia akan segera swasembada beras. Dirinya berpendapat bahwa Indonesia harus berdikari dalam persoalan pangan, karena terdapat proteksionisme dari negara mitra, dimana banyak negara yang melarang ekspor pangan, dan hal ini harus dipecahkan secara diplomasi ekonomi.
Kebijakan proteksionisme disebut juga sebagai proteksi perdagangan merupakan suatu kebijakan yang diambil oleh pemerintah suatu negara untuk campur tangan di dalam kegiatan ekspor dan impor dengan tujuan melindungi sektor ekonomi atau industri tertentu agar dapat bersaing di pasar global dan tidak kalah dalam persaingan internasional. Kebijakan proteksi perdagangan biasa diambil untuk memaksimalkan produksi dalam negeri, memperluas lapangan kerja, serta menjaga stabilitas nasional yang bisa terganggu bila suatu negara terlalu bergantung pada negara lain dalam pengadaan komoditas pangannya.
Prof. Bustanul Arifin menambahkan bahwa ketersediaan beras Indonesia selama tiga tahun terakhir masih terbilang aman, setelah diganggu musim kemarau ekstem pada 2018 yang lalu. Hal yang lebih membanggakan adalah sejak 2018, Pemerintah Indonesia tidak melakukan impor beras.
Pada tahun 2021, produksi beras Indonesia mencapai 31,4 juta ton beras, yang mana lebih tinggi dibandingkan dengan angka konsumsi yang berjumlah 30 juta ton. Produktivitas juga turut mengalami kenaikan sebesar 1,96% dari sebelumnya 5,11 ton/ha menjadi 5,23 ton/ha. Untuk tahun 2022, diketahui sampai Bulan Mei produksi beras telah mencapai 13,5 juta atau setengah dari angka kebutuhan tahunan. Harga beras medium juga stabil pada kisaran Rp.11.800/kg selama dua tahun terakhir.
Pokok permasalahan utama dari ketersediaan beras di Indonesia adalah luas panen padi yang berkurang 245.000 ha atau sekitar 2,34%. Penurunan luas lahan pertanian disebabkan oleh berbagai faktor, utamanya adalah akibat gencarnya alih fungsi lahan. Alih fungsi lahan atau konversi lahan adalah berubahnya satu penggunaan lahan ke penggunaan lahan lainnya. Misalnya lahan yang sebelumnya digunakan sebagai lahan pertanian dialihfungsikan menjadi lahan perkebunan sawit, pembangunan pabrik, ataupun pembangunan pemukiman untuk warga. Hal ini tentu harus diselesaikan secara lintas sektoral dengan melibatkan Pemerintah Daerah, agar luas lahan pertanian tidak terus berkurang.
Untuk itu Prof. Bustanul Arifin menyarankan agar Pemerintah Indonesia harus menyiapkan berbagai strategi antisipasi dan langkah kebijakan untuk menghadapi ancaman krisis pangan di masa depan. Dirinya memberikan beberapa masukan sebagai alternatif solusi untuk mengatasinya.
Untuk jangka pendek, dirinya menganjurkan untuk memberikan Bantuan Langsung Tunai (BLT), bantuan sosial Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT), dan lainnya untuk dilaksanakan dengan efektif, dari perkotaan sampai ke pelosok pedesaan. Kemudian harus adanya antisipasi dan langkah lebih detail pada setiap komoditas pangan yang strategis dan pangan lainnya yang sudah menjadi komoditas pangan daerah di Indonesia.
Pada jangka menengah, diperlukan pendampingan digitalisasi hasil produksi kepada petani oleh pendamping pertanian yang diutus resmi oleh Pemerintah. Pendampingan diperlukan untuk pemberdayaan petani agar petani memahami pertanian yang presisi, digitalisasi rantai nilai pangan, memahami serta dapat mengaplikasikan perubahan teknologi pertanian.
Pada akhirnya, komitmen Pemerintah Indonesia untuk mencapai terjadinya swasembada beras akan tercapai dengan melibatkan berbagai pihak. Swasembada beras akan tercapai bila setiap pihak terkait memiliki kesadaran untuk melaksanakan tugasnya dengan tepat dan bertanggungjawab. Swasembada beras seyogyanya tidak membuat Indonesia hanya tergantung kepada beras sebagai makanan pokoknya karena swasembada beras juga harus didukung diversifikasi bahan pangan lainnya. Namun, swasembada beras akan membuat Indonesia menjadi lebih kuat dalam memenuhi kebutuhan pokok pangan rakyatnya, tanpa ketergantungan impor.
*)Penulis adalah kontributor untuk Pertiwi Institute
(AKD/AA)