Suarapapuanews, Jakarta– Rumah ibadah saat ini menjadi salah satu sasaran kelompok radikal dalam menyebarkan narasi intoleransi melalui mimbar-mimbar keagamaan. Imbauan kewaspadaan yang disampaikan kemudian dipelintir seolah menjadi pandangan Islamofobia dan sulit mengakui fakta adanya penyebaran radikalisme di ruang keagamaan.
Potensi penyebaran tersebut bisa terjadi di rumah ibadah agama mana saja. Hal tersebut disebabkan oleh polarisasi radikalisme dan ekstremisme ada di semua agama dan kelompok dengan paham tersebut ingin menguasai pusat aktivitas masyarakat dari tempat ibadah.
Mimbar agama menjadi sarana paling efektif untuk menyampaikan banyak hal, khususnya soal ajaran agama. Namun, hal tersebut justru menjadi rentan untuk disalahgunakan kelompok tertentu untuk melakukan penyebaran atau propaganda radikalisme.
Senada dengan Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta, KH Nasaruddin Umar yang mengakui bahwa praktik penyebaran radikalisme, intoleransi, dan kebencian di ruang serta mimbar keagamaan benar adanya dan menjadi hal yang harus diakui guna memunculkan kewaspadaan dini, penulis berpendapat bahwa potensi tersebut dapat terjadi karena secara normatif kegiatan keagamaan memang terpusat di rumah ibadah.
Namun, menurut penulis, untuk mengatasi hal tersebut perlu adanya upaya yang maksimal dan tepat karena banyaknya generasi muda penerus bangsa yang terpengaruh dalam jeratan narasi ideologi radikal dan terorisme sangat berbahaya bagi keberlangsungan bangsa dan eksistensi Pancasila sebagai pedoman bangsa.
Sebagai masyarakat Indonesia, kita perlu mendekati generasi muda, khususnya sebagai orang tua, perlu merangkul dan memberi perhatian kepada mereka, supaya energi mereka yang besar tersalurkan, agar tidak digunakan untuk memecah belah bangsa. Jangan sampai energi mereka digunakan untuk menyerang orang, tapi justru digunakan untuk merangkul orang.
Dari sudut pandang penulis, penanganan korban dan pelaku narasi radikal intoleran di ruang agama harus melihat faktor-faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi kerentanannya. Pelaku narasi radikal intoleran melakukan hal tersebut karena faktor pengetahuan keagamaannya atau faktor historis lainnya.
Mimbar keagamaan di tempat ibadah sangat efektif untuk menyampaikan ajaran kepada jamaah. Para jamaan pun cenderung sangat memperhatikan apa yang disampaikan penceramah. Situasi seperti inilah yang kemudian dipakai oleh kelompok kepentingan tertentu untuk melakukan ideologisasi, agitasi, dan lain sebagainya.
Upaya yang dapat dilakukan dalam mencegah penyebaran radikalisme di mimbar keagamaan adalah dengan membatasi ruang gerak kelompok-kelompok radikal yang memanfaatkan ruang dan mimbar keagamaan, hal ini penting sangat penting dilakukan agar tidak paham-paham radikal tidak tersebar yang dapat membawa bencana bagi keberlangsungan dan persatuan bangsa.
Selanjutnya, kelompok radikal kerap memutarbalikkan narasi yang menggiring opini masyarakat seakan pemerintah telah melakukan praktik Islamofobia karena Islamofobia merupakan kelompok yang tidak mau Islam dan muslim berkembang. Padahal, tidak ada yang namanya Islamofobia di Indonesia, bahkan kita punya Kementerian Agama dan Lembaga lainnya yang mengatur dan mendukung jalannya kehidupan beragama di Indonesia, sehingga tidak tepat dan salah untuk menyebut bahwa pemerintah telah melakukan praktik Islamofobia di Indonesia.
Penulis berpendapat, hal tersebut terkait dengan bagaimana cara pandang individu terhadap suatu permasalahan. Pemerintah wajib melaksanakan tugas-tugas kenegaraan untuk mempertahankan keutuhan NKRI. Imbauan serta temuan aparat terkait radikalisme dan upaya penanganannya tidak tepat jika dikatakan sebagai Islamofobia. Oleh karena itu, penting bagi seseorang untuk memiliki pemahaman agama yang komprehensif, memperkuat aqidah agar tidak mudah terpancing dan terprovokasi.
Penulis menyetujui dan memuji upaya pemerintah selama ini dan patut diapresiasi karena telah merangkul tokoh-tokoh agama dan mensterilkan rumah ibadah dari kelompok radikal untuk menanggulangi penyebaran radikalisme dan terorisme yang mengatasnamakan agama. Terlebih belakangan ini masyarakat dapat menikmati kehidupan yang aman dan damai dari tindak terorisme.
Salah satu contoh upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah penyebaran radikalisme seperti yang dikatakan Moch. Syarif Hidayatullah selaku Ketua Umum Asosiasi Dai dan Daiyah Indonesia (ADDI) bahwa beliau mengajak semua pihak untuk memberi perhatian kepada tempat-tempat ibadah yang ada di lingkungan pemerintahan jangan sampai penceramah yang diundang justru yang selama ini bernarasi untuk menolak pemerintah dengan menyampaikan ideologi yang berbeda dengan ideologi bangsa yaitu Pancasila.
Penulis juga menyarankan perlu dilakukan kegiatan bakti sosial seperti membersihkan lingkungan rumah ibadah, ramah tamah serta pemberian bantuan sarana prasarana. Seperti alat ibadah, material bangunan dan alat kebersihan serta paket bahan makanan. Hal tersebut bisa mengurangi penyebaran radikalisme karena dengan melakukan blusukan dan bakti sosial, akan mencegah masuknya radikalisme di lingkungan ibadah.
Dari sudut pandang penulis, saran tersebut dapat diterapkan di seluruh wilayah Indonesia. Hal itu guna meminimalisir pergerakan kelompok-kelompok radikal untuk memasuki tempat-tempat ibadah untuk menghasut masyarakat dengan paham radikal dan terorisme. Begitu juga masyarakat akan sadar betapa berbahayanya kelompok-kelompok radikal tersebut terhadap keutuhan dan keamanan negara kita.
Penulis juga berharap bahwa segenap tokoh agama dan masyarakat untuk dapat membekali umat dan pengikutnya agar tidak mudah terpengaruh kepada paham radikal dan terorisme serta mengedepankan ilmu agama yang komprehensif.
Dengan demikian, perjuangan untuk mencegah radikalisme di tempat ibadah khususnya mimbar keagamaan ini tidak boleh berhenti. Harapannya bukan hanya agar masyarakat sadar, namun agar kelompok-kelompok radikal yang ada segera hilang dari bangsa ini.
*Penulis adalah kontributor Bunda Mulia Institute
(RG/AA)