Suarapapuanews, Jakarta– Pondok Pesantren tidak saja menjadi sentra pendidikan dan pengembangan karakter, namun juga garda terdepan dalam pengajaran Islam moderat. Dengan adanya optimalisasi pesantren, maka benih toleransi dan persatuan bangsa akan semakin mengakar di masyarakat.
Para orang tua yang ingin agar anak-anaknya belajar agama, memasukkan mereka ke pondok pesantren (ponpes). Di pondok pesantren, metode pengajarannya lebih efektif, karena metodenya dilakukan secara intensif dan seharian penuh. Ponpes menjadi primadona karena para santri yang telah lulus bisa jadi ustadz atau melanjutkan studi di Universitas.
Wakil Presiden K.H. Ma’ruf Amin menyatakan bahwa pondok pesantren hendaknya mengajarkan Islam yang moderat, jangan justru menyebarkan radikalisme. Para santri harus mendapat pemikiran yang menerima hidup dalam tatanan kehidupan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jika menjadi santri maka harus menyepakati peraturan dan keputusan yang dibuat oleh pemerintah.
Dalam artian, pondok pesantren jangan pernah mengajarkan radikalisme karena tidak sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945. Karena, radikalisme mengambil jalan kekerasan, dan hal itu tidak pernah disetujui oleh ajaran agama.
Di dalam pondok pesantren ada banyak pengajar dan sebaiknya diperiksa secara berkala. Jangan sampai ada salah satu yang ternyata berpikiran radikal, lalu ia mengajarkannya ke para santri. Jika ketahuan maka dia harus dikeluarkan karena pemikirannya berbahaya dan meracuni para santri yang masih polos. Jangan sampai mereka dibelokkan, awalnya mau jadi ustadz, malah akhirnya jadi radikal dan teroris.
Islam yang moderat adalah Islam yang penuh dengan toleransi. Di dalam pondok pesantren hendaknya diajari cara untuk bertoleransi sebagai modal awal, dan nantinya ketika santri lulus akan paham bagaimana cara hidup dan mengabdi di masyarakat, termasuk dengan mengedepankan toleransi.
Contoh dari pengajaran toleransi adalah ketika sang pengajar menceritakan kisah-kisah di masa Nabi Muhammad. Suatu ketika ada orang yang jahat dan belum memeluk Islam. Ia ditangkap lalu meminta untuk dibunuh saja. Akan tetapi, Nabi memaafkannya dan membebaskannya. Akhirnya orang itu bertaubat dan memeluk Islam. Seperti inilah dakwah Nabi yang lemah-lembut dan tidak dengan jalan kekerasan.
Cerita-cerita semacam ini yang seharusnya diajarkan kepada para santri. Mereka wajib tahu bahwa pengajaran agama bisa dilakukan dengan cara-cara yang lembut, penuh toleransi, dan perdamaian. Jika ada kelembutan maka orang lain akan segan dan hormat, meskipun mereka belum memeluk Islam.
Para santri hendaknya juga paham bahwa toleransi adalah kunci kesuksesan. Nanti jika mereka menjadi ustadz, akan berdakwah sampai ke pelosok. Di tengah-tengah masyarakat yang seperti itu maka ajaran yang lembut dan santun akan mendapat tempat di hati masyarakat.
Kebalikannya, jangan sampai santri justru diarahkan untuk tidak toleransi dan penuh dengan kekerasan. Pemaksaan kehendak, dengan cara apapun, adalah sebuah kesalahan. Apalagi jika menggunakan kekerasan, penyebaran hoax, atau bahkan perusakan fasilitas umum.
Pondok Pesantren diharapkan terus menjadi ujung tombak dalam mengajarkan Islam moderat. Dengan adanya moderasi beragama yang terus diajarkan kepada santrinya, maka diharapkan dapat mencegah munculnya bibit radikalisme yang dapat menghancurkan ukhwah Islamiyah maupun ukhwah wathaniyah.
)* Penulis adalah kontributor Pertiwi Institute
(AF/AA)