Jakarta, suarapapuanews– Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) merupakan formula yang disusun pemerintah untuk menguatkan sektor keuangan, oleh karenanya regulasi ini diharapkan bisa bermanfaat bagi investor, pengusaha, pegiat Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) dan tak terkecuali kesejahteraan kelompok Buruh.
Dalam UU Cipta Kerja telah diatur soal bonus yang akan diterima para Buruh, bahkan telah diatur juga jam lembur. Jumlah maksimal jam lembur juga ditambah dari tiga jam menjadi empat jam per hari. Ini tentu saja menjadikan buruh menjadi lebih produktif.
Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, dalam UU Ciptaker, disebutkan bahwa pemerintah akan membantu para karyawan yang terkena PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) dengan memberikan berbagai pelatihan kerja. Selain itu, jika belum mendapatkan pekerjaan, pemerintah akan memberikan bantuan berupa uang tunai yang akan dibayarkan selama 6 bulan oleh BPJS Ketenagakerjaan. Hal ini tentu saja menunjukkan bahwa UU Ciptaker juga berfungsi sebagai jaring pengaman bagi buruh, sehingga diharapkan buruh yang terkena PHK dapat segera mendapatkan pekerjaan.
Menko Airlangga menambahkan bahwa selama ini belum pernah ada jaminan terhadap tenaga kerja yang terkena PHK. Sehingga, dirinya merasa bahwa masyarakat perlu menerima tujuan baik pemerintah melalui UU Cipta Kerja. Pihaknya mengaku sangat menyayangkan pemikiran sekelompok organisasi buruh yang masih berpikir negatif dalam menanggapi perubahan aturan ketenagakerjaan pada UU Cipta Kerja. Menurutnya, akan lebih baik jika para buruh maupun perusahaan bisa melihat manfaat baik dari terbitnya UU Cipta Kerja.
Sementara itu, Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Kemnaker Tri Retno Isnaningsih dalam acara dialog virtual menjelaskan terkait dengan polemik upah per jam, pemberian upah per jam hanya berlaku untuk pekerja paruh waktu dengan waktu kerja tertentu. Jenis upah berdasarkan satuan waktu yang dimaksudkan untuk mengakomodir kebutuhan perlindungan bagi pekerja paruh waktu melalui pengaturan upah per jam.
Tri menjelaskan, menurut Pasal 16 ayat 1 peraturan pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang pengupahan, upah per jam hanya dapat diperuntukkan bagi pekerja atau buruh yang bekerja secara paruh waktu.
Sementara itu Direktur Pengupahan Kemnaker Dinar Titus Jogaswitani menjelaskan, menurut BPS (Badan Pusat Statistik) pekerja paruh waktu adalah pekerja yang bekerja kurang dari 35 jam dalam sepekan atau kuranf dari 7 jam per hari. Upah per jam tersebut dibayar atas kesepakatan antara pengusaha dengan pekerja atau buruh, di mana dalam menyepakati hal tersebut tak boleh kurang dari formula upah per jam.
Menurutnya, formula yang tertuang dalam peraturan pemerintah, upah per jam sama dengan upah sebulan dibagi 126. Angka 126 itu, merupakan rata-rata waktu pekerja paruh waktu dalam setahun yaitu 52 minggu dikalikan 29 jam per minggu dibagi 12 bulan.
Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziah mengatakan pemerintah melihat sejumlah tantangan dan peluang ketenagakerjaan yang ada saat ini, antara lain, pertumbuhan ekonomi yang masih rendah, angka pengangguran yang masih tinggi, perlunya pembangunan SDM yang berkualitas dan perkembangan ekonomi digital dan tren teknologi yang mengubah lanskap bisnis ke depan sehingga mempengaruhi peta kebutuhan tenaga kerja dan perubahan pola hubungan kerja yang semakin dinamis.
Ditambahkannya, Kementerian Ketenagakerjaan juga telah menyatakan bahwa UU Ciptaker bukan hanya untuk menciptakan kesempatan kerja, tetapi juga untuk mengakomodasi kelangsungan bekerja, peningkatan perlindungan dan kesejahteraan pekerja/buruh, serta keberlangsungan usaha yang berkesinambungan.
UU Ciptaker juga bertujuan untuk menyelesaikan tantangan ketenagakerjaan seperti bonus demografi, di mana sebagian besar penduduknya berusia produktif atau usia kerja. Oleh sebab itu, Ida berharap, UU Ciptaker mampu memperbaiki iklim ketenagakerjaan yang dapat mendukung peningkatan produktivitas nasional. Di sisi lain UU Ciptaker juga bertujuan untuk menyederhanakan, menyingkronkan dan memangkas regulasi yang menghambat penciptaan lapangan kerja, sekaligus sebagai instrumen penyederhanaan dan peningkatan efektivitas birokrasi.
UU Ciptaker diharapkan mampu menjadi jawaban akan meningkatnya kesejahteraan kelompok buruh, di sisi lain UU ini diharapkan juga mampu membuka lapangan kerja lebih banyak, sehingga akan semakin banyak pula tenaga kerja yang terserap.
)* Penulis adalah kontributor Pertiwi Institute
(SF/AA)