Jakarta, suarapapuanews– Masyarakat dan seluruh civitas akademik perlu untuk bersinergi untuk membendung penyebaran radikalisme di kampus. Dengan adanya kewaspadaan bersama, maka generasi muda dapat terhindar dari paham berbahaya tersebut.
Mahasiswa adalah pemuda dan pemudi harapan bangsa karena merekalah calon pemimpin di masa depan. Para mahasiswa tak hanya belajar dengan tekun di kampus. Namun juga belajar berorganisasi dan bergaul dengan semua kalangan. Pengalaman ini yang nantinya dibutuhkan dalam memasuki dunia kerja.
Namun sayangnya kesucian kampus ternodai oleh ulah kelompok radikal. Mereka menjadikan para mahasiswa sebagai sasaran tembak untuk kader baru. Penyebabnya karena mahasiswa sedang dalam kondisi fisik yang prima, dan juga mencari jati diri. Pemikiran mereka bisa dibelokkan jadi pro radikal dengan program cuci otak.
Untuk membendung radikalisme di kampus maka perlu diadakan sinergi agar tidak ada lagi yang jadi korban. Beberapa waktu lalu masyarakat dibuat heboh karena ada mahasiswa sebuah PTN di Malang yang ditangkap karena ternyata menyebarkan radikalisme di dunia maya. Ia juga mengumpulkan donasi yang ternyata digunakan untuk mendanai kegiatan kelompok radikal ISIS.
Akademisi Unsoed Purwokerto Weda Kupita, menyatakan perlu ada regulasi yang bisa menindak tegas oknum yang menyebarkan radikalisme di kampus. Selama ini aparat agak kesulitan untuk mencokok oknum karena belum ada UU khusus yang mengaturnya. Namun ketika sudah ada regulasinya maka akan bisa diatasi dengan cepat dan tangkas.
Weda menambahkan, aparat seharusnya diberi kewenangan khusus untuk menindak jika ada kejadian terkait dengan radikalisme di kampus. Dalam artian, ketika ada seminar atau acara lain di kampus, yang ternyata bermuatan radikalisme, maka aparat bisa langsung membubarkan kegiatan tersebut tanpa adanya protes dari pihak manapun.
Oleh karena itu, perlu adanya koordinasi dan kerjasama antara aparat keamanan dan pihak kampus. Jika memang ada kerusuhan karena radikalisme maka biarkan aparat yang menanganinya. Kehadiran aparat adalah untuk menetralisir situasi agar tidak bertambah buruk.
Pihak kampus hendaknya juga bisa memetakan kelompok mahasiswa yang rentan terkena radikalisme. Jangan sampai ada unit kegiatan yang diam-diam terkena radikalisme lalu menggunakan ruangannya di kampus untuk rapat. Hal ini tentu menyalahi aturan dan mahasiswa tersebut bisa diberi skors, bahkan dikeluarkan dari universitas, karena jadi kader radikal adalah kesalahan fatal.
Untuk mengetahui apakah mahasiswa terkena radikalisme memang agak sulit jika hanya dilihat dari penampilannya. Namun pihak kampus bisa meneliti media sosial yang dimiliki para mahasiswa. Jika ada yang melenceng seperti menyuarakan jihad, mempromosikan khilafah, dan menjelek-jelekkan pemerintah, maka wajib untuk ditegur keras.
Medsos memang memberi kebebasan tetapi mereka harus ingat tentang etika dan tanggungjawab untuk menjaga nama baik kampusnya. Jangan sampai ucapan mahasiswa di Medsos malah mengotori citra positif dari kampus itu sendiri.
Kontrol dari kampus harus dilakukan agar jangan ada lagi mahasiswa yang ditangkap oleh Densus 88 antiteror karena terkena kasus radikalisme dan terorisme. Memang mahasiswa sudah dewasa tetapi alangkah baiknya mereka juga diatur untuk tetap setia pada negara dan Pancasila. Jangan sampai menjadi kader teroris dan menyakiti hati orang tuanya di kampung.
Sinergi dalam membendung radikalisme di kampus harus terus dilakukan dan disinergikan semua pihak, tidak hanya oleh aparat tetapi juga pihak kampus. Semua pihak wajib meneliti apakah ada radikalisme di kampus, baik sesama mahasiswa, dosen, maupun petingginya. Hal ini perlu dilakukan agar kampus dapat terbebas dari paham radikal tersebut.
)* Penulis adalah kontributor Pertiwi Institute
(MY/AA)