Jakarta, suarapapuanews– Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah mengesahkan Revisi Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (RUU PPP). Dengan adanya pengesahan regulasi tersebut, maka landasan hukum memperbaiki Undang-Undang Cipta Kerja akan semakin kuat.
UU Omnibus Law menjadi UU yang paling ramai dibicarakan karena mengandung berbagai klaster yang mengatur banyak bidang. Masyarakat masih asing dengan UU seperti ini karena menggebrak dan mengubah banyak sekali regulasi di Indonesia. Bahkan UU Omnibus Law disebut sebagai ‘sapujagat’ karena mampu meringkas banyak pasal.
Keberadaan UU Omnibus Law makin kokoh ketika RUU PPP disahkan. Pengesahan itu diambil dalam Rapat Paripurna DPR ke-23 masa sidang V tahun sidang 2021-2022, selasa 24 Mei 2022. Rapat langsung dipimpin oleh Ketua DPR RI Puan Maharani.
Puan Maharani menyatakan bahwa revisi UU PPP dilakukan pemerintah dan DPR karena tidak mengatur mekanisme pembentukan RUU secara Omnibus Law atau gabungan. Revisi UU PPP akan menjadi landasan hukum UU Cipta Kerja Nomor 11 tahun 2020 yang dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi.
Dalam revisi RUU PPP ada 19 poin yang diubah. Di antaranya penyusunan peraturan perundangan dapat melalui metode Omnibus Law, penanganan pengujian pengaturan perundang-undangan, dan asas keterbukaan. Bisa dilihat bahwa poin yang diubah untuk kebaikan Indonesia dan untuk kemaslahatan rakyat. Apalagi asas keterbukaan, sangat diperlukan untuk memajukan bangsa.
Jika ada RUU PPP yang sudah sah maka memperkuat posisi Omnibus Law di Indonesia. Sebelumnya UU ini dinilai tidak sah karena tidak bisa dibuat UU dengan metode gabungan. Namun sejak adanya pengesahan RUU PPP maka posisi Omnibus Law aman.
Omnibus Law memang menghebohkan ketika pertama kali diresmikan karena masyarakat belum terbiasa ketika ada banyak sekali klaster dalam satu Undang-Undang. Mereka juga kaget ketika ada klaster investasi yang menjadi primadona pemerintah. Klaster investasi akan mempermudah masuknya penanaman modal asing. Masyarakat sudah takut duluan mendengar kata ‘investasi’.
Padahal investasi di Indonesia sudah ada sejak era orde baru, puluhan tahun lalu. Seharusnya investasi diapresiasi karena dengan masuknya para penanam modal asing, dunia bisnis dan pariwisata di Indonesia jadi makin semarak. Penyebabnya karena pebisnis tersebut menanamkan modal di negeri ini dengan nominal yang tidak sedikit.
Masyarakat masih bangkit dari efek pandemi, terutama di bidang ekonomi. Ketika ada pengesahan RUU PPP yang memperkuat posisi Omnibus Law, maka klaster investasi bisa dipraktikkan dengan lancar. Para investor asing tidak akan ragu lagi untuk menanamkan modalnya di Indonesia.
Seharusnya apresiasi diberikan ketika ada pengesahan RUU yang menjadi payung hukum bagi UU Omnibus Law. Penyebabnya karena investasi di Indonesia akan memiliki aturan yang jelas dan dilindungi oleh negara. Jika banyak investor maka akan banyak pula pabrik yang didirikan. Pabrik-pabrik itu bisa mengurangi tingkat pengangguran karena membutuhkan banyak sekali karyawan.
Berkurangnya pengangguran di Indonesia adalah salah satu tujuan dari pengesahan RUU PPP. Ketika pandemi maka pengangguran membludak karena kelesuan ekonomi. Omnibus Law hadir sebagai penyelamat karena mempermudah investasi. Jadi wajar jika peresmian RUU PPP disambut dengan meriah karena bisa turut memperbaiki iklim investasi dan dunia bisnis di Indonesia.
Masyarakat wajib mengapresiasi pengesahan RUU PPP karena ia menjadi payung hukum bagi UU Omnibus Law. Dengan begitu maka Omnibus Law dinyatakan sah dan tidak bisa diganggu-gugat. Perlindungan akan investasi jadi makin kuat dan akan memperbanyak penanaman modal di Indonesia. Masyarakat akan jadi makin sejahtera karena investasi akan mengurangi tingkat pengangguran.
)* Penulis adalah kontributor Lingkar Pers
(AA/AA)