Jakarta, suarapapuanews– Indonesia menjadi tuan rumah forum Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 tahun 2022. Acara internasional ini sekaligus menjadi momen percepatan peralihan energi menjadi energi baru terbarukan (EBT).
Indonesia meraih prestasi dengan menjadi presidensi G20 yang berarti sekaligus jadi tuan rumahnya. Dengan menjadi tuan rumah maka akan banyak keuntungan yang didapat. Selain bisa mempromosikan investasi dan pariwisata, maka forum G20 sekaligus jadi momentum penting untuk percepatan peralihan energi hijau.
Agus P. Tampubolon, Project Manager Clean, Affordable, and Secure Energy for Southeast Asia IESR menyatakn bahwa sebagai tuan rumah, Indonesia memiliki hak untuk menentukan tema-tema untuk dibahas dalam forum-forum yang ada, termasuk mengikutsertakan tema transisi energi. Dengan mengambil tema ini maka akan ada intervensi, komitmen, dan dukungan yang dibutuhkan Indonesia untuk mencapai target transisi yang ditetapkan.
Transisi energi memang menjadi topik hot yang dibahas dalam beberapa waktu ini, sehingga wajar jika juga dibicarakan di acara berlevel internasional seperti KTT G20. Dengan mengubah sumber energi konvensional jadi EBT maka diharap akan lebih ramah lingkungan. Transisi energi ini penting karena efeknya untuk jangka waktu sampai puluhan bahkan ratusan tahun ke depan.
Selama ini kita menggunakan bahan bakar minyak sebagai energi, tetapi kelemahannya minyak bumi didapatkan dari pengolahan fosil, begitu pula batubara. Dikhawatirkan persediaan fosil akan terkeruk habis jika tidak ada sumber energi lain. Sebelum hal buruk ini terjadi maka wajib konversi ke energi baru terbarukan sehingga lebih aman dan cinta bumi.
Transisi energi yang dimaksud adalah perpindahan dari energi konvensional (minyak bumi dan batu bara) ke energi baru terbarukan. Di antaranya energi bayu (angin), energi surya, dan lain sebagainya. Dengan energi jenis ini maka selain lebih ramah lingkungan juga lebih ekonomis dalam pengolahannya.
Dengan adanya KTT G20 maka setelah membicarakan transisi ke energi baru terbarukan, diharap banyak negara lain akan mengikuti langkah Indonesia yang perlahan berpindah ke energi baru terbarukan. Jika semuanya kompak maka akan bagus, karena penggunaan energi konvensional memiliki kelemahan yakni menghasilkan karbon dioksida (CO2) yang bisa membuat pemanasan global.
Presiden Jokowi menyatakan bahwa KTT G20 dapat menjembatani dan mendorong negara berkembang dan maju (yang menjadi anggota G20) untuk mempercepat transisi energi, memperkuat sistem energi global yang adil dan berkelanjutan dalam satu kesepakata global. Perlu ada kolaborasi sehingga mempermudah akses layanan energi yang terjangkau.
Dalam artian, tidak semua negara anggota G20 siap dalam melakukan peralihan ke energi baru terbarukan. Ada negara yang kekurangan sumber daya manusia dan ada pula yang kekurangan modal. Diharap dengan kolaborasi dari seluruh anggota G20 maka diharap semuanya kompak beralih ke energi baru terbarukan karena ada subsidi dari negara-negara maju.
Sejak tahun 2017 Indonesia sudah beralih ke energi baru terbarukan meski belum 100%. Dengan bukti adanya pembangkit listrik tenaga angin maka anggota G20 memahami seperti apa pengolahan energi baru terbarukan, sehingga mereka tahu wujud aslinya dan akan membuatnya di negaranya. Diharap semua anggota G20 kompak beralih ke energi baru terbarukan untuk mencegah pemanasan global.
KTT G20 menjadi momentum penting untuk percepatan peralihan dari energi konvensional (minyak bumi dan batubara) ke energi baru terbarukan (tenaga surya dan angin). Dengan posisi Indonesia sebagai tuam rumah G20 maka diharap perubahan peralihan energi menjadi lebih cepat, seiring adanya beragam dukungan dari anggota G20 lainnya.
)* Penulis adalah kontributor Lingkar Pers
(YP/AA)