Jakarta,suarapapuanews— Kelompok separatis dan teroris (KST) kembali menyerang warga sipil Papua pada 25 April 2022. Masyarakat geram atas ulah KST dan mendukung tindakan tegas Apkam terhadap gerombolan itu.
Ketika Papua bergabung dengan Republik Indonesia tahun 1969 mak ada sebagian kecil oknum yang tidak setuju. Mereka tak percaya akan hasil Ppepera (penentuan pendapat rakyat) padahal sudah jelas bahwa mayoritas rakyat ingin jadi WNI daripada jadi jajahan Belanda. Para oknum akhirnya membentuk OPM (Organisasi Papua Merdeka) yang memiliki KST sebagai kaki-tangannya.
Sejak era orde baru hingga sekarang, KST mempromosikan pembelotan ke segenap rakyat Papua. Anehnya, saat mereka ingin membujuk warga, malah melukai masyarakat di Bumi Cendrawasih. Seperti pada kejadian tanggal 25 April 2022 lalu ketika KST menyerang Samsul Sattu, warga Distrik Ilaga, Kabupaten Puncak. Samsul meninggal dunia padahal sudah dievakuasi ke Puskesmas Ilaga.
Kabid Humas Polda Papua Kombes Ahmad Musthofa Kamal menyatakan bahwa pihaknya baru menerima laporan pukul 19:00 waktu Indonesia timur. Padahal kejadiannya jam 16:30. Pelaku masih dikejar karena pasca menembak ia melarikan diri. Menurut keterangan saksi, ada 2 anggota KST yang datang dan salah satunya menembak korban di ketiak sebelah kanan. Diduga pelakunya adalah anggota dari kelompok Numbuk Telenggen.
Masyarakat mengutuk aksi KST karena mereka menembak warga sipil, yang sudah jelas tak punya senjata api untuk melindungi diri. Lagipula, kejadian ini bukan pertama kalinya. Sebelumnya KST pernah membunuh warga Papua yang berprofesi guru, pelajar, dan tukang ojek. Alasannya adalah mereka diduga mata-mata aparat, padahal hanya masyarakat sipil biasa.
Serangan KST sudah melanggar batas karena membunuh rakyat yang tak berdosa. Oleh karena itu mereka harus diberi tindakan tegas terukur agar tidak mengulangi perbuatannya. Tindakan ini memang diperbolehkan karena untuk mencegah kejahatan yang selanjutnya.
Selain melakukan pengejaran, Tim Satgas Damai Cartenz melakukan penyisiran sampai ke pelosok dan pedalaman Papua. Penyebabnya karena markas KST memang sengaja dibangun di tempat tersembunyi agar tidak ketahuan aparat. Masyarakat juga dihimbau agar melapor ketika mengetahui di mana letak markas-markas KST sehingga memudahkan pengejaran.
Ketika KST ditangkap maka masyarakat malah senang dan tidak ada yang membela mereka. Penyebabnya karena warga sendiri sudah lelah dengan keberadaan KST dan mereka memang selalu berbuat onar. Jika kelompok pemberontak ini ditangkap tentu keadaan di Bumi Cendrawasih akan selalu aman.
Saat anggota KST dicokok oleh tim Satgas Damai Cartenz maka mereka digelandang dan dibawa ke pengadilan. Tujuannya tentu untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Mereka bisa kena UU Darurat Pasal 2 Ayat 1 Nomor 12 tahun 1951 dan ancaman hukumannya 10 tahun penjara. Mereka juga bisa kena hukuman seumur hidup, bahkan hukuman mati, karena melakukan pembunuhan berencana.
Ketegasan dengan ancaman hukuman terberat memang harus dilakukan agar para anggota KST kapok dan tidak mengulangi perbuatannya, serta tak merugikan masyarakat sipil. Jika ada anggotanya yang dipenjara maka personel KST lain akan ketakutan karena tidak mau juga kena penjara seumur hidup. Diharapkan mereka segera menyerahkan diri.
Masyarakat terlampau marah atas kekejaman KST karena perbuatan ini sudah berulang kali dilakukan. Agar mereka kapok tentu perlu ada ketegasan, baik saat penangkapan maupun saat di pengadilan. KST harus diberantas hingga ke akarnya agar tidak membahayakan keselamatan warga sipil.
)* Penulis adalah kontributor Lingkar Pers
(AJ/AA)