Jakarta, suarapapuanews— Radikalisme dapat dipicu dari kebencian terhadap pemimpin dan kesalahan tafsir dalam beragama. Masyarakat pun diimbau untuk bijak dan mengedepankan semangat perdamaian serta toleransi dalam beragama.
Melawan radikalisme merupakan kewajiban bagi seluruh warga negara supaya tidak terjadi pecah belah dan permusuhan dengan sesama saudara sendiri. Maka dari itu sangat penting bagi kita untuk bisa memahami dan mengetahui, melacak kiranya akar dari radikalisme ini apa.
Gus Miftah selaku Pimpinan Pesantren Ora Aji Yogyakarta menyatakan bahwa ternyata salah satu yang menjadi akar dari radikalisme adalah sebuah rasa kebencian yang kita miliki terhadap pemimpin. Biasanya dengan memiliki rasa kebencian pada pemimpin maka itu akan menjadi bibit intoleransi sikap serta pandangan, yang kemudian bermuara pada radikalisme.Maka apabila siapapun termasuk kita semisal memiliki perbedaan pendapat dengan pemimpin dalam lingkup apapun, alangkah jauh lebih baiknya menurut Gus Miftah adalah kita mampu untuk mengomunikasikan hal tersebut dengan selembut mungkin sehingga tidak akan terjadi yang namanya kebencian.
Tidak bisa dipungkiri bahwa dalam hidup pasti terdapat perbedaan pandangan, ketidaksetujuan dan sebagainya. Namun ada hal yang mampu kita kendalikan dan kita kontrol yakni bagaimana upaya pengucapan kita ketika menghadapi perbedaan pendapat tersebut. Cukup ingatkan dan berikan nasihat dengan baik saja atas apa kekeliruan pemimpin kita, usahakan jangan sampai ada pihak yang kemudian sakit hati.
Biasanya pula kenapa bisa ada orang yang sangat kokoh mempertahankan argumennya, dilanjutkan oleh Gus Miftah lantaran dirinya memiliki sebuah pemahaman namun hanya dari satu sudut pandang saja dan berusaha untuk memaksakan orang lain agar supaya berpandangan sama sepertinya.
Jika dalam hal radikalisme agama misalnya, biasanya akan cenderung orang-orang radikal tersebut memiliki sebuah tafsiran keagamaan yang dia pahami dan dia anggap benar, namun dirinya juga seolah memaksakan siapapun supaya menganut kesepahaman sama dengan yang dia miliki bahkan termasuk dengan cara apapun seperti kekerasan.
Mirisnya lagi adalah nyatanya memang sudah banyak orang-orang atau kelompok yang memiliki paham seperti ini. Mereka seolah mengklaim bahwa tafsiran mereka yang paling benar, bahkan tidak tanggung-tanggung lagi untuk bertindak dengan mengatasnamakan Tuhan.
Terdapat sebuah contoh yang sangat menarik mengenai hal ini, ketika Presiden Joko Widodo sempat memberikan instruksinya kepada para Gubernur untuk membawa tanah dan air dari masing-masing daerah mereka menuju ibu kota negara baru di Kalimantan Timur. Sontak langsung beberapa kelompok menyatakan bahwa tindakan tersebut adalah hal yang syirik atau menyekutukan Allah.
Padahal itu hanyalah sebuah simbolik saja yang menujukkan bahwa kita harus tetap menjunjung tinggi kearifan lokal dari berbagai daerah kita di Indonesia untuk menunjukkan komitmen dan semangat kesatuan serta persatuan bangsa. Jadi sama sekali hal tersebut tidak ada kaitannya dengan kesyirikan atau mengajak orang untuk menyekutukan Allah.
Tafsiran satu pihak dari beberapa oknum kelompok radikal yang menuding bahwa Presiden mengajarkan kesyirikan inilah yang menjadi salah satu akar pecah belah diantara sesama warga negara. Mereka memaksakan penafsiran atau pemaknaan keagamaan mereka supaya juga dianut oleh orang lain pula. Bahkan mereka tidak jarang mengkafirkan kelompok lain apabila dirasa tidak sejalan dengan mereka, yang justru hanya akan menimbulkan saling benci dan justru sama sekali tidak mencerminkan ajaran Islam yang sejati.
)* Penulis adalah kontributor Lingkar Pers
(MI/AA)