Jakarta, suarapapuanews– Radikalisme adalah paham yang wajib dibasmi oleh seluruh masyarakat, termasuk kaum milenial. Dengan tenaga dan kreativitasnya maka anak muda bisa jadi garda depan dalam mengatasi radikalisme.
Generasi muda memiliki banyak peluang untuk melakukan banyak hal positif. Tidak hanya kumpul-kumpul bersenda gurau namun juga ikut menangkal penyebaran paham radikal yang banyak menyebar lewat Medsos. Peran aktif generasi muda dibutuhkan karena merekalah pengguna aktif media sosial.
Mengapa harus memberantas radikalisme? Pasalnya paham ini tidak hanya berbahaya bagi anak muda tetapi juga seluruh masyarakat. Kelompok radikal menyasar sosial media dalam menyebarkan ajarannya. Menurut data dari Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), 85% anak muda sangat rentan terpapar radikalisme, sedangkan 47,3% pelaku terorisme adalah dari generasi muda.
Kita tentu tidak mau jika di masa depan negeri ini hancur gara-gara radikalisme dan kaum muda sebagai calon pemimpin malah asyik merencanakan penyerangan dan pengeboman, alih-alih belajar di kelas. Oleh karena itu kaum milenial memegang peran penting sebagai pemberantas radikalisme untuk menyelamatkan sesama anak muda. Mereka bisa memaksimalkan potensi demi menyelamatkan negeri ini.
Jangan sampai 100% pelaku terorisme adalah dari generasi muda karena mereka memang sengaja melakukan pengaderan secara masif dan sasarannya adalah ABG serta mahasiswa. Pengkaderan dilakukan di dunia maya yang dinilai lebih aman dari pantauan aparat. Kaum milenial bisa jadi garda terdepan agar mencegah meluasnya radikalisme di kalangan anak muda dengan berbagai strategi, juga memanfaatkan kreativitas.
Pertama, kaum milenial bisa menangkal radikalisme dengan melaporkan jika ada akun media sosial yang terbukti menyebarkan hoaks, propaganda, dan konten-konten radikal. Misalnya konten tentang jihad itu keren, padahal jihad yang sebenarnya adalah mencari nafkah untuk keluarga, bukannya menyerang pihak lain yang tak bersalah. Pelaporannya bisa ke polisi siber atau bisa klik tombol report ke pihak Facebook atau Instagram.
Jika dilaporkan ke pihak pengelola sosial media maka mereka akan mempertimbangkan apakah akun tersebut bisa ditutup. Kaum muda bisa mengajak banyak orang untuk melaporkan akun milik kelompok radikal tersebut karena makin banyak yang melapor maka pihak Facebook bisa menghilangkan akunnya. Oleh karena itu pekerjaan ini hendaknya dilakukan secara berkelompok sebagai solidaritas dalam menentang radikalisme.
Cara kedua dalam menangkal radikalisme yang bisa dilakukan oleh anak-anak muda adalah edukasi tentang mengenali berita hoaks. Mereka bisa memberi informasi bahwa tidak semua berita yang beredar di sosial media, media online, maupun broadcast di grup WA adalah benar. Ciri-ciri hoaks adalah medianya tidak kompeten dan beritanya selalu memojokkan pemerintah serta memakai foto palsu.
Jika makin banyak masyarakat yang paham bahwa suatu berita adalah hoaks maka mereka tidak akan terpengaruh oleh berita palsu dan propaganda yang sengaja disebarkan oleh kelompok radikal. Anak muda bisa jadi corong informasi bahwa hoaks ada di mana-mana dan jangan sampai kita terjebak karenanya. Saring sebelum sharing suatu berita agar tidak terjeblos hoaks yang bisa jadi hanya rekaan dari kelompok radikal.
Generasi muda seringkali kali menjadi sasaran empuk radikalisme, sehingga diperlukan kesadaran penuh kaum milenial yang menjadi garda terdepan bangsa untuk ikut menangkal radikalisme. Dengan adanya partisipasi aktif kelompok milenial, maka pencegahan radikalisme dapat berjalan maksimal.
)* Penulis adalah kontributor Pertiwi Institute
(MY/AA)