Jakarta, suarapapuanews– Semua pihak perlu untuk menjaga situasi kondusif selama bulan Ramadhan, tidak terkecuali mahasiswa. Ramadhan seharusnya diisi dengan kegiatan positif untuk menjaga kondusivitas, bukannya berunjuk rasa dapat mengganggu kenyamanan masyarakat.
Mahasiswa adalah agen perubahan dan di pundak mereka masa depan Indonesia berada. Ketika menjadi mahasiswa maka ia tak hanya belajar di kampus, tetapi juga aktif berorganisasi sebagai latihan untuk bergaul dengan sesama dan membaur di masyarakat. Apalagi saat Ramadhan, mahasiswa juga berperan penting dalam menjaga situasi agar tetap damai, karena mereka punya energi dan kreativitas tinggi.
Namun sayang sekelompok mahasiswa yang menamakan dirinya sebagai BEM SI (badan eksekutif mahasiswa se Indonesia) nekat berunjuk rasa pada 11 April 2022. Alasan mereka adalah demo untuk menentang beberapa hal, seperti perubahan harga minyak dan BBM, penundaan Pemilu, dan lain sebagainya. Padahal Presiden Jokowi berkali-kali menegaskan bahwa beliau taat konstitusi dan tidak akan ada penundaan pemilu seperti yang mereka tuduhkan.
Demo yang diadakan di depan Istana Negara sudah jelas akan dihalau oleh aparat keamanan. Pertama, alasannya karena masih pandemi, dan sejak awal kedatangan Corona pihak kepolisian sudah menegaskan untuk tidak memberi izin demo apapun karena akan menimbulkan kerumunan. Kedua, saat ini masih bulan Ramadhan. Seharusnya di bulan suci ini kita menghindari demo, aksi, dan sebagainya, karena akan merusak kondusivitas.
Kepala Kepolisian Daerah Maluku Inspektur Jenderal Polisi Lotharia Latif menyatakan bahwa mahasiswa yang berdemo diharap tertib dan tidak anarkis. Saat ini umat Islam sedang menjalankan ibadah puasa sehingga harus berjalan dengan damai. Akan lebih baik lagi untuk langsung beraudensi daripada berdemo yang akhirnya berakhir dengan jalan kekerasan.
Imbauan dari Kapolda Maluku ini harap ditaati, tak hanya bagi mahasiswa di Maluku dan sekitarnya, tetapi juga di seluruh Indonesia. Pasalnya, sebagai mahasiswa mereka sudah dewasa dan tahu mana yang baik dan mana yang buruk. Jika unjuk rasa berakhir dengan keburukan maka lebih baik dibatalkan saja, lagipula kegiatan ini juga merusak kondusifitas bulan puasa.
Saat puasa, umat dilarang untuk makan dan minum dari setelah subuh hingga maghrib. Selain menahan lapar dan haus mereka juga wajib menjaga emosi karena bisa mengurangi pahala puasa. Jangan sampai unjuk rasa berakhir dengan anarkis dan merugikan masyarakat, karena saat melihat demo-demo yang sebelumnya selalu ada adegan pembakaran ban dan kemacetan. Tentu mahasiswa tidak mau pahalanya berkurang gara-gara terlalu berambisi untuk demo, bukan?
Seharusnya mahasiswa menjaga situasi agar tetap kondusif saat Ramadhan. Bukannya malah nekat berunjuk rasa. Apalagi jika demo diadakan di siang bolong sehingga amat rawan dan membuat pengunjuk rasa jadi membatalkan puasanya gara-gara kehausan. Sudah capek, berdosa pula, sungguh keterlaluan.
Kondusifitas saat Ramadhan memang harus dijaga, apalagi saat ini masih masa pandemi. saat menjaga perdamaian maka mahasiswa jadi agen perubahan yang sejati karena bisa mengubah keadaan suram menjadi riang, karena mereka memikirkan perasaan orang lain. Mereka sadar bahwa lebih baik berbagi dengan sesama daripada berdemo yang merugikan karena menimbulkan kemacetan.
Untuk menjaga kondusivitas di bulan Ramadhan maka mahasiswa wajib menyudahi segala aktivitas demonya, karena jelas memancing keributan dan menimbulkan kerumunan. Lebih baik mereka menghormati bulan suci Ramadhan dengan mengisi momentum tersebut dengan kegiatan positif seperti Bakti Sosial. Situasi yang kondusif dan damai di bulan puasa wajib dijaga oleh semua orang, termasuk mahasiswa.
)* Penulis adalah kontributor Pertiwi institute
(AP/AA)